PARBOABOA, Simalungun - Masih ada guru honorer di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara yang menerima gaji Rp500 ribu per bulan. Itupun dibayarkan setiap tiga bulan sekali.
Salah satunya Yesika Damani, honorer guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Afd M Laras 091268.
Yesika mengatakan, gaji yang ia terima berasal dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Saya terima gaji hanya Rp1,5 juta per 3 bulan. Itupun kadang mau lebih karena menunggu Dana Bos belum keluar,” katanya.
Yesika mengakui, penghasilan sebesar itu hanya cukup untuk ongkos transportasi saja, tidak cukup untuk kebutuhan lain.
“Untuk biaya bensin saja kadang sudah habis, dan tidak bisa untuk menabung. Jangankan menabung untuk membeli kebutuhan lain saja saya harus mikir bagaimana caranya,” keluhnya.
Sementara pengamat Pendidikan Sumatra Utara, Mutsyuhito Solin menilai upah yang diterima guru honorer tersebut jauh dari kata layak.
“Hal ini bisa memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia terkhusus wilayah Kabupaten Simalungun, dengan penghasilan seperti itu pasti guru tidak akan memiliki semangat untuk mengajar dan membawa generasi mudah ke arah yang lebih maju dan berkembang,” jelasnya.
Mutsyuhito yakin, banyak guru terpaksa menerima penghasilan tersebut, karena minimnya lapangan pekerjaan.
“Ya saya yakin mereka yang mau tetap mengajar adalah karena menyadari kekurangan ekonominya dan tuntutan yang mengharuskan mereka bekerja. Tuntutan ini bisa berasal dari keluarga dan lingkungan tanpa memikirikan benefit yang diterima,” katanya.
Kemudian, kecilnya upah guru honorer menujukkan minimnya keperdulian Pemerintah Kabupaten Simalungun.
“Saya menilai Pemerintah Kabupaten SImalungun tidak peduli dengan guru honorernya. Selain pemerintah juga seharusnya DPRD Simalungun harus tegas dan menambahkan anggaran demi kesejahteraan setiap guru yang mengajar,” ucapnya.
Saya harap di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) seperti ini pemerintah lebih menyadari hal hal yang seperti ini bukan hanya sekedar melakukan upacara dan bercita-cita memajukan pendidikan di Simalungun, imbuh Mutsyuhito Solin.