PARBOABOA, Jakarta –Kondisi infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) hingga saat ini masih jadi masalah serius. Kondisi ini pun mencerminkan ketimpangan pembangunan di Indonesia.
Persoalan pun perlahan mulai diurai. Ternyata, kendala pengadaan fasilitas belajar yang memadai bukan sekadar soal anggaran, tetapi juga menyangkut perencanaan dan koordinasi antar kementerian yang memiliki kewenangan berbeda.
Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks DPR, Jakarta pada Rabu (6/11/2024), Menteri Pendidikan, Abdul Mu'ti menekankan bahwa hambatan utama yang dihadapi dalam mempercepat pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah 3T adalah kewenangan yang masih dipegang oleh Kementerian PUPR.
Ia mengakui bahwa pihaknya sudah sampaikan kendala ini kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Usulan kami, kalau tidak bisa seluruhnya, opsinya bisa moderat. Misalnya sebagian nominalnya oleh Kementerian Pekerjaan Umum, tapi dalam nominal tertentu boleh dikerjakan oleh kita, sehingga bersama-sama, paralel, pencapaiannya lebih cepat,” ujar Abdul Mu'ti.
Usulan ini tak lepas dari fakta bahwa banyak pembangunan infrastruktur pendidikan yang tidak terlaksana dengan optimal ketika hanya diurus oleh satu pihak, dalam hal ini Kementerian PUPR.
Sering kali proyek-proyek tersebut terhambat karena birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi yang efektif antara kementerian terkait.
Dengan pola pembangunan paralel yang diajukan, diharapkan proses penyediaan fasilitas pendidikan dapat berjalan lebih efisien dan cepat, memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat di daerah 3T.
Faktanya, daerah 3T dikenal dengan tantangan geografis yang sulit, akses transportasi yang minim, serta keterbatasan sarana dan prasarana dasar.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga 2023, hanya 60% sekolah di daerah 3T yang memiliki gedung layak pakai.
Sisanya mengalami kerusakan ringan hingga berat, dengan fasilitas pendukung seperti laboratorium, perpustakaan, dan akses internet yang jauh dari memadai.
Kondisi ini tidak hanya menghambat proses belajar mengajar, tetapi juga memengaruhi kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Anak-anak di daerah 3T kerap kesulitan mengejar ketertinggalan dalam mata pelajaran tertentu, terutama sains dan teknologi, yang memerlukan dukungan infrastruktur yang lebih baik.
Padahal, pendidikan yang layak adalah hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Pemerintah sebelumnya, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebenarnya telah memiliki beberapa program yang diarahkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di daerah 3T, seperti , Program Indonesia Pintar dan pengiriman guru-guru ke pelosok.
Namun, tanpa infrastruktur yang memadai, hasil program-program ini tidak bisa optimal. Oleh karena itu, usulan Abdul Mu'ti untuk melibatkan Kementerian PUPR dalam pembangunan infrastruktur pendidikan patut diapresiasi.
Menanggapi kondisi ini, Anggota Komisi X DPR RI, Ratih Megasari Singkarru, mengakui meskipun Komisi X berfokus pada aspek pendidikan, namun mereka sering kali tidak bisa berbuat banyak terkait infrastruktur karena ranah tersebut dikelola oleh Kementerian PUPR.
“Sebab, kalau kita bicara fisik pendidikan, itu hanya ada di PUPR,” tegasnya.
Ini menunjukkan perlunya sinergi yang lebih kuat antara kementerian agar kebijakan terkait pendidikan di daerah 3T dapat berjalan secara efektif.
Secara hukum, ada beberapa regulasi yang bisa menjadi payung hukum untuk inisiatif pembangunan paralel ini.
Salah satunya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana disebutkan bahwa pembangunan infrastruktur pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang layak untuk seluruh peserta didik, termasuk di daerah terpencil.
Melalui regulasi ini, kolaborasi antara Kemendikdasmen dan Kementerian PUPR dapat memiliki dasar yang lebih kuat.
Penerapan pembangunan paralel dapat diformulasikan dalam bentuk peraturan presiden atau instruksi presiden untuk memastikan implementasi di lapangan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Meski rencana ini terdengar menjanjikan, ada tantangan besar dalam implementasinya. Proses pembangunan di daerah 3T sering terkendala oleh kondisi geografis yang sulit dijangkau.
Selain itu, kapasitas sumber daya manusia lokal untuk mengoperasikan fasilitas yang dibangun sering kali terbatas.
Oleh karena itu, pembangunan fisik harus disertai dengan pelatihan bagi guru dan tenaga pendidik setempat agar mampu memanfaatkan fasilitas dengan maksimal.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa anggaran yang dialokasikan digunakan secara transparan dan tepat sasaran.
Pengawasan ketat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga terkait lainnya sangat penting untuk menghindari korupsi yang dapat menghambat perkembangan pendidikan di daerah 3T.
Editor: Norben Syukur