PARBOABOA - Asep Dani gusar tiap kali terjadi kecelakaan yang melibatkan truk pengangkut barang. Ketua Forum Komunitas Pengemudi Nasional ini jengkel lantaran sopir selalu menjadi kambing hitam.
"Seakan-akan kami itu bisa melindas orang, bisa membunuh orang, padahal kami sendiri bisa mati," kata Asep kepada Parboaboa.
Isu keselamatan kendaraan besar pengangkut logistik sedang mendapat perhatian publik sebulan terakhir. Rentetan kecelakaan truk yang sebagian berakibat fatal dengan jatuhnya korban jiwa menjadi pemicunya.
Dalam rentang 1 November-2 Desember 2024 saja, berdasarkan catatan Parboaboa, sekurang-kurangnya terdapat delapan insiden kecelakaan truk pengangkut barang. Mengacu pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi, 80 persen kecelakan truk disebabkan faktor kelalaian manusia.
Tak ayal sorotan tertuju pada orang di balik kemudi. Padahal, menurut Asep, faktor sopir tidak bisa dilihat sebagai faktor tunggal. Baginya, sopir juga menjadi korban.
Ia mencontohkan fenomena truk yang muatannya melebihi kapasitas (over dimension overloading/ODOL). Keberadaannya acap kali dituding menjadi biang kecelakan lalu lintas.
Pertengahan November lalu, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, sampai memberi peringatan keras. Ia berjanji akan menertibkan truk ODOL. Hal itu menyusul kejadian kecelakaan truk yang terjadi dalam waktu berdekatan.
Dari kaca mata sopir, truk ODOL sebenarnya juga merupakan momok. Mengemudikannya, menurut Asep, seperti bertaruh nyawa. Segala ilmu dan keterampilan pengendara truk ODOL benar-benar diuji agar bisa selamat sampai tujuan.
"Kok seakan-akan pengemudi itu siap mati dengan over dimension-overloading," ujar Asep. Ia mengatakan, sopir tak punya pilihan ketika diperintahkan pengusaha membawa muatan berlebih.
Ihwal truk ODOL ini, persoalannya ternyata kompleks. Pengusaha pun juga dihadapkan pada masalahnya sendiri.
Menurut Sulis, pengusaha truk asal Semarang, Jawa Tengah, semua pengirim barang berusaha melakukan efisiensi biaya. Tujuannya agar harga komoditas yang didistribusikan tidak membengkak ketika sampai ke konsumen.
"Ngakalinnya di biaya pengirimannya. Pengirimannya diperbanyak, ongkosnya tetap sama," ungkap Sulis.
Pemilik truk tak punya kuasa untuk menolak. Pasalnya, persaingan di bisnis logistik sudah terlalu sesak.
Jika order pengiriman tidak diambil, maka pengusaha lain yang akan menyambar peluang itu. Pemain di jasa penyewaan truk pun terpaksa mengabaikan aspek keselamatan dengan membawa muatan berlebih demi mendapat sewa.
Kompetisi di antara pelaku dunia truk ekspedisi juga merembet ke harga sewa. Pengusaha truk berlomba-lomba banting harga.
Sulis merasakan betul dampaknya. Ia terpaksa menyewakan truknya dengan harga murah. Sekali angkut barang dari Jawa ke Lampung saja, ia hanya dibayar Rp6,5 juta.
Sulis tak punya pilihan selain menerimanya. Bila tidak, pelanggan akan beralih ke penyedia jasa truk lain.
"Masih banyak perusahaan-perusahaan transportasi yang mau dengan harga segitu," ujar pengusaha yang punya tujuh unit truk ini.
Padahal ongkos sebesar itu hanya cukup untuk biaya operasional perjalanan pergi saja seperti bensin, tol, makan sopir, ongkos penyeberangan kapal, dan pungli di jalan. Nominal itu belum termasuk upah pengemudi.
Sopir sendiri yang harus mencari sewa di lokasi tujuan untuk operasional pulang dan upahnya. Untuk menunggu orderan balik, truk bisa menunggu 3 hingga 4 hari.
Sialnya, kata Sulis, tarif sewa orderan balik Lampung-Jawa malah lebih murah lagi. Kisarannya di angka Rp5 juta hingga Rp5,5 juta.
Hitung-hitungan ekonomi yang tidak menguntungkan membuat pengusaha harus putar otak untuk bertahan. Berbagai pos pengeluaran terpaksa diperketat, salah satunya dengan tidak menggunakan kenek.
"Kalau kita pakai kenek, itu kita enggak bisa jalan dengan ongkos yang seperti itu. Kita bisa makan di jalan, tapi sopir pulang enggak bawa uang," ujar Sulis.
Menurut Gemilang Tarigan, Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, armada tanpa kenek mulai jamak terjadi lima tahun belakangan.
Ia memperkirakan, 50 persen truk luar kota beroperasi tanpa kenek. Sementara, 100 persen pengemudi truk di dalam kota tidak didampingi kenek.
Tanpa bantuan kenek, beban kerja sopir bertambah. Pengemudi truk dituntut ekstra fokus ketika berada di jalan.
Tidak hanya dalam mengemudikan kendaraan untuk mengejar tenggat pengiriman, mereka juga harus bertanggung jawab terhadap keamanan muatan. Sedikit banyak, hal ini berkontribusi pada tingkat stres dan kelelahan orang-orang yang bekerja di balik kemudi.
Kebijakan menggunakan kenek ini juga punya efek berantai. Dulu, kata Gemilang, kenek merupakan jenjang karier seseorang menjadi sopir truk. Pada tahap itulah calon pengemudi ini mendapat pengalaman lapangan.
Ketika keberadaan kenek dihilangkan, proses regenerasi sopir terputus. Saat ini bisnis penyewaan truk tengah menuai dampaknya. Terdapat defisit ketersedian pengemudi truk sebesar 10-20 persen dari total armada yang tersedia.
"Jadi, kalau mobil kita ada 50 di garasi sana, 10 itu enggak ada sopirnya," papar Gemilang.
Pengusaha terpaksa mengambil sopir yang minim pengalaman sepanjang memiliki SIM B2 Umum. Hal ini berpengaruh pada kompetensi pengemudi truk ketika berkendara di jalan.
Tapi posisi pengusaha juga terjepit. Iklim bisnis penyewaan truk sedang tidak sehat.
Permintaan dan penawaran di bisnis penyewaan truk tengah mengalami ketimpangan. Suplai yang yang begitu melimpah berbanding terbalik dengan permintaan penyewaan truk yang tidak tumbuh signifikan.
Jumlah truk yang beroperasi di Indonesia, menurut Tarigan, mencapai 6,5 juta unit. Angka itu tidak sebanding dengan jumlah pengguna jasa angkutan barang.
Rusaknya keseimbangan pasar, menurut Tarigan, disebabkan banjir truk bekas yang berusia di atas 20 tahun. Hal ini menyuburkan fenomena pengusaha truk baru.
Dengan modal Rp70 juta saja, orang bisa memiliki truk bekas berusia tua. Sementara itu, pemerintah tidak mengatur batasan usia truk. Sepanjang lulus uji KIR, truk-truk tua itu bisa beroperasi.
Di pasaran, ongkos sewa truk tua dan truk baru relatif sama. Pengusaha dengan armada relatif baru akhirnya ngos-ngosan menjaga arus kas. Sebab, mereka tidak hanya harus memikirkan biaya operasional.
Cicilan armada yang relatif tinggi pun harus terus dibayarkan tiap bulannya. Sejumlah pengusaha bercerita bagaimana beratnya mengangsur kendaraan.
Untuk satu Colt Diesel, misalnya, pemilik truk harus menyiapkan uang Rp12 juta perbulan. Pengeluaran bulanan truk jenis tronton bahkan lebih besar lagi, mencapai Rp 25 juta per bulan.
Biaya ini sulit ditutup dengan ongkos sewa yang murah. Kondisi keuangan ini berkaitan erat dengan aspek keselamatan.
"Jangan bicara masalah safety kalau kau tidak punya cash flow," Gemilang mengutip pernyataan mantan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan.
Yang jelas, persaingan usaha truk telah membuat pengusaha cekak. Pengiritan di sana-sini dilakukan.
Gemilang khawatir bila pengusaha mengetatkan pengeluaran di aspek yang berkaitan dengan keselamatan perjalanan. Pemilik truk, kata dia, bisa saja menunda mengganti komponen kendaraan yang sudah tidak laik.
"Waktu beli spare part, pakai yang tiruan, yang penting kendaraan jalan dulu. Itu kan berkaitan dengan cash flow," Gemilang mencontohkan. Hal ini akan meningkatkan risiko kecelakaan di jalan.
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia, mengamini persoalan rendahnya tarif angkut barang. Hal itu berdampak pada keseluruhan ekosistem bisnis truk ekspedisi, termasuk dalam aspek keselamatan.
Ia menilai, yang tercipta di lapangan menyerupai pasar bebas. Dulu, pemerintah sebenarnya mengatur besaran tarif angkut.
Ketika regulasi tentang lalu lintas dan angkutan jalan diubah dari UU nomor 14 tahun 1992 menjadi UU nomor 22 tahun 2009, aturan pedoman tarif dihilangkan.
Pemilik barang punya posisi tawar lebih tinggi dibanding pemilik truk karena punya banyak opsi penyedia jasa yang saling sikut berebut konsumen. Mereka bisa saja mendikte harga serendah-rendahnya. Omset yang kecil berimbas pada kesejahteraan pengemudi dan biaya pemeliharaan kendaraan.
"Kalau berbicara pemeliharaan itu kan tentang keselamatan. Kalau sopir gajinya enggak standar, kan, susah," ujar Djoko.
Direktur Sarana Transportasi Jalan Kementerian Perhubungan, Amirulloh mengakui tarif angkutan barang menjadi persoalan serius. Kemenhub tengah mengkaji apakah tarif angkutan barang perlu diatur seperti angkutan orang.
"Kami memang dengan asosiasi truk misalkan membahas ini perlu diatur atau tidak,” katanya saat ditemui Parboaboa di kantor Kemenhub, Jumat (6/12/2024).
Sejauh ini, Kemenhub hanya bisa mengimbau pengusaha truk untuk rutin mengecek kondisi kendaraan. Jangan sampai usaha menekan tarif justru mengorbankan keselamatan.
"Enggak dirawat, onderdilnya enggak diganti-ganti, akhirnya kan tarif bisa lebih murah gitu, tapi dia mengorbankan yang lain," lanjut Amirulloh.
Sejauh ini, pengusaha besar relatif patuh terhadap aturan keselamatan. Kemenhub justru kerepotan mengatur perusahaan truk kecil yang jumlahnya justru paling banyak. Pengusaha kecil ini paling sedikit punya satu armada saja.
Untuk mencegah kecelakaan truk berulang, Kemenhub kini sedang menggencarkan operasi dan penindakan terhadap pelanggaran, khususnya ODOL. Pemerintah tak segan mencabut izin usaha pemilik angkutan barang yang nakal.
"Jangan membuat pelanggaranlah, karena pelanggaran itu awal terjadinya kecelakaan," tegasnya.
Reporter: Achmad Rizki Muazam dan David Rumahorbo