PARBOABOA, Jakarta - Perhelatan Pilkada serentak pada 27 November 2024 semakin dekat.
Hiruk-pikuk demokrasi ini akan menjadi ajang penentuan arah baru pembangunan di berbagai daerah di Indonesia.
Masyarakat menyimpan harapan besar untuk berlangsungnya pesta demokrasi yang jujur dan bersih.
Namun, di balik euforia ini, bayangan kelam praktik politik uang tetap menjadi momok yang menakutkan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI telah mengingatkan pentingnya pengawasan ketat dalam setiap tahapan Pilkada, khususnya pada masa tenang yang rawan pelanggaran.
Anggota Bawaslu RI, Puadi, menyoroti potensi maraknya praktik politik uang, yang kerap dilakukan untuk memengaruhi pemilih secara terselubung.
“Pengawasan harus diperketat hingga hari pemungutan suara, dengan Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) sebagai ujung tombak dalam menindak pelanggaran,” kata Puadi, Senin (18/11/2024).
Menurutnya, kolaborasi antara Bawaslu, kejaksaan, dan kepolisian di Gakkumdu menjadi harapan untuk menjaga integritas Pilkada.
Praktik politik uang bukan hal baru dalam demokrasi Indonesia. Data dari Bawaslu menunjukkan bahwa pada Pilkada 2020, lebih dari 100 laporan terkait dugaan politik uang mencuat.
Meski jumlahnya menurun dibanding pemilu sebelumnya, praktik ini tetap menjadi ancaman serius.
Padahal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 secara tegas melarang politik uang, dengan ancaman hukuman pidana penjara hingga tiga tahun dan denda maksimal Rp200 juta bagi pelaku.
Namun, pelaksanaan hukum di lapangan sering kali terkendala. Transaksi yang dilakukan secara rahasia dan rasa enggan masyarakat melapor menjadi tantangan besar.
Praktik politik uang kerap muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberian uang tunai, sembako, hingga barang lainnya yang dibalut dengan istilah "bantuan sosial."
Di beberapa daerah dengan tingkat ekonomi rendah, pemberian semacam ini dianggap sebagai rezeki yang sah, tanpa menyadari dampaknya.
Faktanya, praktik ini dapat menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Untuk menghadapi tantangan ini, berbagai langkah telah dilakukan. Bawaslu, misalnya, menggencarkan kampanye "Pilkada Tanpa Politik Uang" untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kejujuran dalam demokrasi.
Dalam beberapa kasus, kampanye ini membuahkan hasil. Pada Pilkada 2020, seorang calon kepala daerah di Banjarnegara didiskualifikasi karena terbukti melakukan politik uang secara masif.
Keputusan ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum pemilu.
Media juga memegang peran vital dalam memberantas politik uang. Liputan investigatif yang mendalam dapat mengungkap praktik curang yang sering kali sulit terlihat.
Di era digital, media sosial menjadi alat yang ampuh untuk menggalang dukungan publik dan menyuarakan aspirasi.
Namun, penggunaan media sosial harus bijak. Kampanye positif yang menonjolkan program kerja dan rekam jejak calon dapat menjadi contoh penggunaan media yang sehat dan produktif.
Selain itu, peran aktif masyarakat tidak bisa diabaikan. Sebagai pemilik hak suara, masyarakat memiliki tanggung jawab besar untuk menolak politik uang.
Pendidikan politik menjadi kunci utama. Pemerintah daerah, organisasi masyarakat, dan lembaga pendidikan harus bahu-membahu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan visi dan misi calon, bukan karena iming-iming materi.
Penolakan terhadap politik uang harus dimulai dari kesadaran individu bahwa setiap suara sangat berharga.
Komitmen dari partai politik dan calon kepala daerah juga diperlukan. Mereka harus berani menjalankan kompetisi yang adil tanpa merusak nilai-nilai demokrasi.
Komitmen ini bukan hanya untuk Pilkada 2024, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Ketika masyarakat melihat bahwa partai politik dan calon serius menjalankan kompetisi secara bersih, kepercayaan terhadap demokrasi pun pasti akan tumbuh.
Momentum Pilkada 2024 menjadi kesempatan emas untuk membuktikan bahwa demokrasi Indonesia bisa lebih dewasa.
Diketahui, Pilkada tahun 2024 di Indonesia dilaksanakan secara serentak bagi daerah dengan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2022, 2023, 2024, dan 2025.
Sistem Pilkada serentak tahun 2024 menjadi penyelenggaraan kelima di Indonesia sekaligus pertama kalinya melibatkan seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh wilayah Tanah Air.
Berdasarkan data dari KPU, Pilkada serentak tahun 2024 akan digelar di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.