PARBOABOA, Parapat – Hujan deras yang mengguyur Parapat pada Minggu, 16 Maret 2025, kembali membawa petaka.
Sungai Batu Gaga meluap, membawa bebatuan dan lumpur yang menerjang pemukiman warga. Akibatnya, rumah-rumah mengalami kerusakan parah, aktivitas ekonomi lumpuh, dan akses transportasi utama terganggu.
Seorang warga lanjut usia mengungkapkan ketakutannya.“Setiap kali hujan deras turun, kami cemas. Gemuruh air membuat kami selalu waspada. Kami berharap ada tindakan nyata untuk menghentikan perusakan hutan di atas sana,” ujarnya, seperti yang dikutip dari rilis yang diterima Parboaboa, Kamis (20/03/2024.
Data dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) mencatat 11 rumah rusak berat dan 138 kepala keluarga terdampak langsung.
Banjir juga merendam fasilitas umum, termasuk rumah sakit dan hotel seperti Hotel Atsari. Jalan utama yang menghubungkan Parapat dengan Medan serta Balige pun lumpuh akibat longsor dan genangan air.
Tiga hari pascabencana, kota Parapat masih berbenah. Banyak rumah makan belum bisa beroperasi akibat lumpur, sementara warga bergotong royong membersihkan sisa material banjir.
Ngatiman, pemilik usaha di kawasan Panatapan, mengaku bencana ini berdampak besar pada usahanya."Biasanya, dampaknya bisa lebih dari sebulan. Wisatawan takut datang, dan usaha kami merugi," keluhnya.
Ia berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mencegah kejadian serupa. "Kami selalu cemas setiap kali hujan turun. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap perusakan hutan," tegasnya.
Pro dan Kontra Penyebab Banjir
Perdebatan soal penyebab banjir Parapat ramai diperbincangkan. Sebagian pihak menyebut hujan deras sebagai faktor utama, sementara banyak yang meyakini bahwa penyebab utamanya adalah rusaknya hutan di kawasan hulu, terutama di Bangun Dolok.
Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Tinambunan, dalam konferensi pers 17 Maret 2025 menegaskan: “Banjir Parapat bukan ujian dari Tuhan, tapi akibat ulah manusia yang merusak alam ciptaan-Nya.”
Pendapat ini didukung oleh hasil investigasi dari KSPPM, AMAN, dan Auriga Nusantara. Penelitian menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, hutan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon mengalami deforestasi masif.
Demikianpun laporan dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) menunjukkan bahwa luas hutan alam di lima kecamatan sekitar Parapat terus menyusut drastis.
Perubahan Luas Hutan Alam di Lima Kecamatan, Simalungun (2000–2023)
Tahun |
Luas Hutan (ha) |
2000 |
10.348 |
2005 |
9.421 |
2010 |
6.642 |
2015 |
4.276 |
2020 |
3.667 |
2023 |
3.614 |
Dalam kurun waktu 23 tahun, kawasan ini kehilangan 6.148 hektar hutan alam. Periode 2005–2010 menjadi masa dengan deforestasi terbesar, mencapai 2.779 hektar.
Sejalan dengan hilangnya hutan, lahan di daerah ini beralih fungsi menjadi kebun eukaliptus.
Perbandingan Tutupan Hutan dan Kebun Kayu Eukaliptus (2000–2022)
Tahun |
Hutan Alam (ha) |
Kebun Kayu (ha) |
2000 |
29.116 |
11.675 |
2005 |
28.925 |
12.482 |
2010 |
27.195 |
13.398 |
2015 |
24.055 |
16.689 |
2020 |
22.799 |
18.112 |
2022 |
22.968 |
18.178 |
Terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus sebesar 6.503 hektar selama dua dekade terakhir. Hal ini menunjukkan adanya perubahan tutupan hutan menjadi perkebunan komersial.
Peran PT Toba Pulp Lestari dalam Deforestasi
PT Toba Pulp Lestari (TPL) memiliki konsesi seluas 20.360 hektar di sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun. Analisis menunjukkan bahwa di dalam konsesi ini, deforestasi terjadi dalam skala besar.
Luas Hutan Alam di Wilayah Konsesi PT TPL (2000–2023)
Tahun |
Luas Hutan (ha) |
2000 |
10.348 |
2005 |
9.421 |
2010 |
6.642 |
2015 |
4.276 |
2020 |
3.667 |
2023 |
3.614 |
Selama 23 tahun, kawasan ini kehilangan 6.734 hektar hutan. Periode 2005–2010 menjadi puncak deforestasi dengan kehilangan 2.779 hektar hutan.
Peringatan untuk Pemerintah
Banjir bandang yang terjadi di Parapat menjadi alarm keras bagi Pemerintah Daerah. Pembukaan lahan di daerah hulu dan lereng terjal telah memperparah risiko bencana.
Diperlukan langkah serius untuk mengevaluasi tata ruang, mengendalikan perambahan hutan, dan menindak tegas perusahaan yang merusak lingkungan. Jika tidak, bencana serupa akan terus mengancam Parapat dan wilayah sekitarnya.
Solusi yang Bisa Dilakukan:
1. Moratorium pembukaan hutan di kawasan DAS Bolon.
2. Rehabilitasi kawasan hutan yang telah rusak.
3. Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan.
4. Peningkatan sistem peringatan dini bencana banjir dan longsor.
Tanpa langkah nyata, Parapat akan terus berada dalam bayang-bayang bencana.