PARBOABOA – Hentakan mesin tenun terdengar keras saat seorang pria berusia hampir setengah abad menarik dan mendorong kayu dari alat tradisional pembuat ulos yang terlilit benang.
Sudah berjam-jam tangan dan pandangannya fokus di helai demi helai benang yang berjejer untuk disulap menjadi selembar kain bernilai tinggi. Dia adalah Septi Gulo, penenun ulos yang selama tiga tahun ini berjuang bertahan hidup dari beratnya masa-masa pandemi COVID 19.
Saat ditemui Parboaboa di rumah sekaligus tempat usahanya di Sibatu-batu Pematang Siantar, Septi bercerita, keputusannya untuk tetap bertahan karena kebutuhan ekonomi.
Septi mengatakan, menenun ulos adalah pilihan terbaiknya untuk menghasilkan uang, karena lewat usaha tersebut, dia berharap secara pelan-pelan bisa membawanya kesejahteraan ekonomi.
"Pada 2019, menjadi awal saya memulai," katanya.
Septi bercerita, sebelum menjadi penenun ulos, profesinga hanya seorang pekerja lepas dengan penghasilan tidak pasti. Berbekal uang tabungan, dia memberanikan diri untuk berbisnis.
Alasan Septi memilih menenun ulos karena melihat prosepk bisnis yang sangat menjanjikan.
“Dulunya saya hanya pekerja lepas saja. Penghasilan tak menentu, kadang ada ya kadang tidak. Namun, karena ada tanggungan biaya anak dan juga arisan yang harus dibayar, saya coba buka usaha ini," jelasnya.
Badai Pandemi
Belum lama Septi merintis bisnisnya, badai pandemi COVID 19 datang mengujinya. Untuk bisa tetap bertahan, dia putar otak agar penghasilannya tetap ada.
Bisnis tenun nya terpaksa harus ditutup beberapa bulan, kemudian dia memilih kembali menjadi pekerja lepas.
“Wah, kalau semasa pandemi kemaren pasti banyak ya dampaknya buat kita. Kemarenkan pemerintah menentang keras yang namanya “berkerumun”, jadi orang gak bisa pesta. Kalau tidak ada pesta, otomatis orang tidak ada yang membeli ulos, jadi kami tutup kemaren," katanya.
Septi mengungkapkan, sebelum pandemi datang, penghasilannya dari menjual kain tenunan ulos bisa sampai 10 helai ulos jenis Sibolang perhari dengan harga Rp60 ribu perdua meter.
"Kalau sekarang udah jauh berkurang. Kami hanya bisa menjual paling banyak 3 ulos saja lah perharinya”, keluhnya.
Di masa sekarang, walau kondisi kasus pandemi sudah menurun dibanding tahun 2020 atau 2021, pendapatan Septi belum membaik karena harga ulos yang mengalami penurunan.
"Permintaan menurun, eh harganya ikit turun. Kemaren kami menjual ulos secara ecer di pasar Parluasan masih dapat Rp60 ribu untuk per dua meter kain ulos, kalau sekarang hanya laku seharga Rp30 ribu saja per lembar kainnya," ungkapnya.
Pengrajin ulos lainnya juga mengalami nasib yang sama, yaitu UD Anugrah Ulos Silalahi di Jalan Sisimangaraja, Pematang Siantar. Salah seorang karyawannya, Lasria Damanik bercerita, saat pandemi bisnis tempatnya bekerja sempat tutup selama berbulan-bulan.
“Kalau pas pandemi kamaren kami tutup. Ya gimana ya, soalnya ga ada acara pesta juga kan jadi tidak ada yang mau beli ulos Ragihotang, jadi kami tutup,” kata Lasria.
Dikatakan Lasria, sebelum pandemi jumlah ulos yang terjual bisa sampai 100 lembar perhari.
“Sebelum pandemi itu, kemaren kami bisa menjual sampai 100 lembar perhari, dengan kisaran harga 100 ribu. Tapi sesudah pandemi sampai sekarang, kami cuma bisa menjual di bawahnya, karena belum efektif juga kan. Harganya juga turun menjadi kisaran harga 80 ribu- 100ribu an," jelasnya.
Septi Gulo dan UD Anugrah Ulos Silalahi adalah salah satu dari ratusan penenun ulos di Provinsi Sumatra Utara yang terdampak pandemi COVID 19. Mereka memilih bertahan untuk tradisi, namun digilas kenyataan karena wabah penyakit.
Ulos adalah symbol tradisi untuk beragam kehidupan masyarakat batak. Kain ini selalu hadir mulai dari adat pernikahan, kematian, kelahiran dan momen lainnya yang sakral.