PARBOABOA, Simalungun – Terjeratnya seekor harimau Sumatra atau panthera tigris sumatrae di Desa Marihat Raja, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, pada Minggu (22/10/2023) lalu telah memicu perhatian serius.
Menurut Ahli Satwa Liar Universitas Sumatra Utara, Pindi Patana, kejadian ini mencerminkan dampak perubahan lingkungan yang memaksa hewan-hewan liar untuk beradaptasi dengan keberadaan manusia.
Ia menjelaskan, harimau sejatinya memiliki daerah jelajahnya sendiri. Satwa liar tersebut tidak akan mengubah jalurnya jika tidak dalam keadaan genting.
"Dulu mungkin itu daerah jelajah Harimau, tapi karena kebutuhan manusia yang meningkat, terjadilah perubahan yang mungkin dulunya hutan sekarang ini jadi ladang," tuturnya kepada Parboaboa, Selasa (24/10/2023).
Sebelum insiden terjeratnya harimau ini, dilaporkan bahwa selama dua minggu terakhir, suara auman harimau telah terdengar di kawasan tersebut.
Menurut Pindi, auman itu bukan menandakan perilaku harimau yang ingin kawin, melainkan sebagai cara harimau memberi tahu manusia agar menyadari keberadaannya di wilayah tersebut.
"Bukan manusia saja yang tidak ingin ketemu Harimau, Harimau pun tidak ingin bertemu dengan manusia di wilayahnya sendiri, jadi mungkin itu penanda saja agar tidak bertemu," tuturnya.
Untuk itu, Pindi menegaskan perlunya keterlibatan pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun daerah, dalam mengawasi aktivitas masyarakat yang tinggal di sekitar hutan guna mencegah insiden serupa di masa depan.
Pindi juga meminta masyarakat setempat untuk menerapkan opsi lain untuk mengantisipasi Hama seperti Babi Hutan yang sering menyerang lahan warga, salah satunya dengan memasang poster predator.
"Ada itu satu daerah di Sumatra, di ladang mereka pasangi Poster Harimau. Itu membuat babi hutan tidak mau masuk ke ladang itu. Meski belum efektif ya tapi menurut saya itu bisa dijadikan pilihan daripada memasang jerat," imbuhnya.
Harimau Sumatra Selamat dari Jeratan di Desa Marihat Raja
Harimau yang sebelumnya ditemukan terjerat dengan kondisi lemah dan terluka, telah dibawa ke Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) untuk mendapatkan perawatan medis sebelum akhirnya dilepaskan kembali ke habitatnya.
Menurut Kepala Bidang KSDA wilayah II Pematang Siantar, Buana Darmansyah, harimau berjenis kelamin jantan itu memiliki berat sekitar 80 kg dan diperkirakan berusia 4-5 tahun.
"Mudah-mudahan setelah pulih, Harimau Sumatra tersebut dapat kembali dilepasliarkan ke habitatnya," ucapnya kepada Parboaboa, Selasa (24/10/2023).
Buana menjelaskan, Kecamatan Dolok Panribuan memang merupakan jalur migrasi hewan hutan, dan diperkirakan masih ada harimau lain di kawasan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan survei dan penelitian lebih lanjut terkait hal ini.
Sebelumnya, pada Mei 2017 lalu, peristiwa serupa pernah terjadi di Desa Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun.
Harimau yang akhirnya diberi nama Monang tersebut terkena jerat di kaki kanan depan dan kini menjadi penghuni BNWS.
Larangan Pemasangan Jerat Hewan di Hutan
Pemasangan jerat di hutan adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan berpotensi merusak ekosistem serta mengancam keberlangsungan satwa liar, khususnya satwa yang dilindungi.
Hal ini sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Aturan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan berbagai tindakan terhadap satwa yang dilindungi, termasuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa tersebut dalam keadaan hidup.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat mengakibatkan konsekuensi hukum serius. Menurut Pasal 40 ayat (2) undang-undang yang sama, pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).