PARBOABOA, Jakarta - Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan terus memantik perdebatan luas. Di satu sisi, pemerintah menegaskan proyek tersebut murni kerja akademik yang difasilitasi negara.
Namun demikian, di sisi lain, kelompok masyarakat sipil menilai penulisan “sejarah resmi” berpotensi menjadi instrumen kekuasaan yang mengancam keterbukaan sejarah dan demokrasi.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengakui bahwa hingga buku berjudul "Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global" diluncurkan pada 14 Desember 2025, dirinya belum membaca naskah buku tersebut.
Pengakuan itu disampaikan saat ia memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku yang disiarkan melalui YouTube Kementerian Kebudayaan, Minggu (14/12/2025) kemarin.
“Buku ini satu lembar pun belum pernah saya lihat. Jadi saya tidak bohong,” ujar Fadli.
Politisi dari Partai Gerindra itu menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah dilakukan tanpa campur tangan pemerintah. Ia menyebut buku tersebut ditulis oleh 123 penulis dari 34 perguruan tinggi serta 11 lembaga non-perguruan tinggi.
Peran kementerian, kata dia, sebatas memfasilitasi kerja para sejarawan.
“Ini bukan ditulis oleh saya, oleh Pak Restu (Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan), atau oleh orang Kementerian Kebudayaan,” kata Fadli.
Proyek penulisan ulang sejarah ini dimulai pada Januari 2025 dan menghasilkan karya setebal 7.958 halaman yang terbagi dalam 10 jilid.
Fadli menyebut buku tersebut dimaksudkan sebagai salah satu rujukan bagi masyarakat untuk memahami perjalanan bangsa, bukan sebagai satu-satunya acuan sejarah.
Ia juga mengklaim proses penyusunan buku telah melibatkan diskusi publik dan menerima masukan dari berbagai kalangan akademisi dan sejarawan.
Namun demikian, Fadli tidak menampik bahwa proyek tersebut memicu polemik. Ia menyebut adanya desakan dari sebagian masyarakat agar penulisan ulang sejarah dihentikan, meski menurutnya hal itu merupakan dinamika yang wajar dalam negara demokrasi.
“Sempat ada polemik untuk menghentikan penulis sejarah. Tapi itu wajar,” katanya.
Polemik tersebut salah satunya dipicu oleh kekhawatiran sejumlah pihak terhadap hilangnya fakta-fakta penting dalam draf awal buku, termasuk peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.
Kekhawatiran itu mendorong dugaan bahwa sejarah ditulis sesuai kehendak penguasa dan berpotensi mengglorifikasi masa lalu tertentu.
Kritik AKSI
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai penulisan ulang sejarah oleh negara berisiko menjadi sarana pengkultusan individu dan glorifikasi berlebihan terhadap rezim tertentu.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan semacam itu dapat menghapus peristiwa dan tokoh yang tidak selaras dengan kepentingan kekuasaan.
“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” kata Usman dalam keterangan tertulis pada pertengahan Mei 2025 lalu.
Penolakan terhadap proyek penulisan sejarah ini juga disuarakan secara kolektif oleh Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI).
Aliansi yang terdiri dari sejarawan, aktivis HAM, tokoh masyarakat, dan akademisi lintas disiplin itu melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025.
Dalam pertemuan tersebut, AKSI menyampaikan penolakan terhadap proyek penulisan “sejarah resmi” yang digarap Kementerian Kebudayaan.
Ketua AKSI Marzuki Darusman menilai proyek tersebut berpotensi menjadi alat legitimasi kekuasaan dan menutup ruang diskusi kritis mengenai masa lalu bangsa.
“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim, baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba dimana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” kata Marzuki usai Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi X DPR.
Menurut Marzuki, penulisan sejarah resmi oleh negara lazim terjadi di negara berkarakter otoriter.
Ia bahkan membandingkan proyek ini dengan upaya Adolf Hitler yang menuliskan ulang sejarah Perang Dunia I, serta kasus di Korea Selatan pada 2015 ketika Presiden Park Geun-hye berusaha mengontrol penulisan sejarah, namun akhirnya gagal akibat penolakan publik yang masif.
“Ini yang sedang kami lakukan di Indonesia, menolak erosi demokrasi lewat penggelapan sejarah yang sedang dilakukan pemerintah. Hanya rezim berkarakter otoriter yang mencoba menuliskan ulang sejarah dengan label ‘sejarah resmi,’” tambahnya.
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai proyek penulisan sejarah tersebut tidak memenuhi kaidah produksi ilmu pengetahuan sejarah. Ia menyebut proyek ini justru berpotensi menghasilkan penggelapan sejarah bangsa dan menyesatkan generasi muda.
“Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya,” kata Asvi dalam keterangan yang sama.
Ia mendorong pemerintah untuk lebih fokus menyelesaikan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai fondasi pembentukan sejarah yang jujur dan bertanggung jawab.
“Proses pembentukan sejarah lewat kebijakan negara melawan impunitas dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM lebih baik ketimbang melakukan penggelapan sejarah lewat proyek politik penulisan ulang sejarah,” pungkasnya.
