PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan (Kemenkebud) resmi meluncurkan buku "Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global."
Buku ini merupakan sebuah karya monumental yang disusun dalam sepuluh jilid dan memetakan perjalanan panjang bangsa Indonesia dari masa prasejarah hingga konsolidasi demokrasi pada 2024.
Peluncurannya berlangsung di Kompleks Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Jakarta, Minggu (14/12/2025), dan menjadi tonggak penting dalam upaya negara merawat memori kolektif sekaligus memperkuat jati diri bangsa di tengah dinamika global.
Peresmian buku ditandai secara simbolik dengan peletakan puzzle berbentuk pulau-pulau Indonesia. Simbol ini merepresentasikan keberagaman unsur sejarah yang dirangkai menjadi satu narasi kebangsaan yang utuh.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa buku tersebut bukan karya pemerintah, melainkan hasil kerja para sejarawan Indonesia yang difasilitasi negara.
“Jadi ini bukan ditulis oleh saya, oleh Pak Restu, atau oleh orang Kementerian Kebudayaan. Kita memfasilitasi para sejarawan untuk menulis sejarah,” ujar Fadli dalam sambutannya.
Buku ini ditulis oleh 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia, yang bekerja melalui Direktorat Sejarah Kementerian Kebudayaan.
Kesepuluh jilid tersebut mengulas perjalanan bangsa secara kronologis dan tematik, mulai dari akar peradaban Nusantara, interaksi global dengan India, Tiongkok, Persia, Timur Tengah, dan Barat, masa kolonialisme, pergerakan kebangsaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, konsolidasi negara, era Orde Baru, hingga Reformasi dan demokrasi kontemporer.
Menurut Fadli, buku ini tidak dimaksudkan sebagai satu-satunya rujukan sejarah nasional. Ia menyebut penulisan sejarah bersifat dinamis dan terbuka terhadap perdebatan dalam ruang demokrasi.
“Kalau sejarah kita ditulis lengkap, mungkin harus seratus jilid. Buku ini adalah highlight perjalanan bangsa,” katanya.
Fadli juga mengaitkan penulisan sejarah nasional dengan amanat konstitusi. Ia menyebut Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan peran negara dalam memajukan kebudayaan nasional sebagai landasan utama hadirnya buku ini. Dalam konteks itu, keberadaan kembali Direktorat Sejarah menjadi fondasi penting.
Direktorat Sejarah di bawah Kementerian Kebudayaan sebelumnya sempat tidak aktif. Fadli mengungkapkan pembentukan kembali direktorat tersebut merupakan bagian dari perjuangan internal pemerintah ketika Presiden Prabowo Subianto membentuk Kementerian Kebudayaan.
“Dan Direktorat Sejarah ini, sebenarnya sudah almarhum tadinya. Pas kebetulan setahun yang lalu ketika Bapak Presiden Prabowo Subianto mendirikan Kementerian Kebudayaan, salah satunya yang kita minta adalah adanya Direktorat Sejarah lagi, hidup kembali Direktorat Sejarah kita,” ujarnya.
“Saya dan Pak Sekjen ngotot waktu itu, agar Direktorat Sejarah ini dihidupkan. Tadinya tidak ada, jadi Direktorat Sejarah ini sekali lagi sebenarnya ini bangkit dari kubur,” lanjutnya.
Terbuka pada Kritik
Dalam kesempatan yang sama, Fadli menegaskan bahwa tugas utama Direktorat Sejarah adalah melahirkan karya-karya sejarah nasional.
“Saya kira inilah tugas dari Direktorat Sejarah untuk melahirkan buku-buku sejarah. Jadi sejarawan banyak kerjaannya ini selama ada Direktorat Sejarah ini,” katanya.
Meski menuai berbagai polemik, Fadli menilai perdebatan yang muncul sebagai sesuatu yang wajar dalam negara demokrasi. Ia mengakui bahwa selama proses penulisan buku, muncul pula pandangan yang meminta agar proyek tersebut dihentikan.
“Kita tahu di dalam proses penulisan ini cukup banyak juga polemik, ada yang meminta juga menghentikan penulisan sejarah. Saya kira ini juga pendapat di era demokrasi wajar-wajar saja,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa buku ini bukan karya yang sempurna dan terbuka terhadap kritik serta masukan publik.
Peluncuran buku tersebut juga menjadi bagian dari rangkaian peringatan menuju 80 tahun Indonesia merdeka, sekaligus upaya menghadirkan pembacaan sejarah dari sudut pandang Indonesia, bukan dari kacamata kolonial atau kekuatan eksternal.
Fadli juga menjelaskan bahwa penulisan ulang sejarah diperlukan karena karya-karya sebelumnya belum sepenuhnya memuat perjalanan bangsa secara utuh. Meski demikian, proyek ini tidak mengabaikan karya-karya sejarah terdahulu.
“Proyek penulisan sejarah 10 jilid ini dimulai dari prasejarah hingga awal pelantikan Presiden Prabowo Subianto. Tapi, kami tidak menulis sejarah dari nol, namun melanjutkan apa yang tidak ditulis,” ujarnya dalam keterangan pada Selasa (24/6/2025) lalu.
Ia menyebut bahwa buku ini tetap mengambil rujukan dari karya Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang ditulis antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Sartono Kartodirjo sejak 1974, terakhir terbit pada 1984 dan dimutakhirkan pada 2008.
