Mahfud MD Soroti Perpol 10/2025: Polemik Polisi Aktif di Jabatan Sipil Dinilai Langgar Konstitusi

Polemik Polisi Aktif di Jabatan Sipil Dinilai Langgar Konstitusi (Foto: DOk. ANTARA)

PARBOABOA, Jakarta – Isu reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali mencuat ke ruang publik setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.

Aturan ini membuka ruang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan di 17 kementerian dan lembaga sipil, sebuah kebijakan yang langsung menuai polemik luas karena dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 sebelumnya secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Putusan ini merupakan hasil pengujian Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang selama ini menjadi dasar pembatasan peran polisi di ranah sipil.

Menanggapi terbitnya Perpol tersebut, mantan Menko Polhukam sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mahfud MD, menyampaikan kritik keras.

Dalam kanal YouTube Mahfud MD Official, Jumat (12/12/2025) malam, Mahfud menegaskan bahwa pandangannya disampaikan dalam kapasitas sebagai akademisi, bukan sebagai anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri.

“Perkap tersebut, perkap nomor 10 tahun 2025 itu, bertentangan dengan dua undang-undang,” kata Mahfud.

Ia menjelaskan, pertama, Perpol itu bertentangan langsung dengan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun jika ingin menduduki jabatan sipil. Ketentuan ini, menurut Mahfud, telah diperkuat secara konstitusional oleh Putusan MK.

Kedua, Mahfud menilai Perpol 10/2025 juga bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Undang-undang tersebut hanya membuka peluang jabatan sipil tertentu bagi TNI dan Polri sesuai pengaturan eksplisit dalam undang-undang masing-masing.

“Undang-Undang TNI mengatur secara jelas jabatan apa saja yang boleh diisi. Tapi Undang-Undang Polri sama sekali tidak menyebut jabatan-jabatan sipil yang bisa diduduki Polri,” ujarnya.

Mahfud juga menepis anggapan bahwa karena Polri adalah institusi sipil maka anggotanya bebas mengisi jabatan sipil. “Sipil tidak boleh masuk ke sipil juga kalau di ruang lingkup tugas dan profesinya,” kata Mahfud, memberi analogi dokter, jaksa, dosen, dan notaris yang memiliki batas profesi masing-masing.

Sementara itu, Polri melalui Karo Penmas Divisi Humas Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan bahwa penempatan polisi di 17 kementerian/lembaga memiliki dasar hukum, antara lain UU Polri, UU ASN, serta PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Penugasan tersebut dilakukan melalui mekanisme permintaan pejabat pembina kepegawaian, dengan seleksi kompetensi dan rekam jejak oleh Kapolri, serta tanpa perubahan status menjadi PNS.

Namun, pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, menilai langkah tersebut tetap bertentangan dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan.

Ia mengingatkan asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, apalagi putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Dengan putusan MK tersebut, Bambang menegaskan bahwa seluruh anggota Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil harus ditarik kembali atau memilih mengundurkan diri dari kepolisian.

Polemik ini pun kembali menegaskan urgensi konsistensi reformasi Polri dan kepatuhan pada asas legalitas serta konstitusi.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS