Militerisasi Hutan dan Ancaman Baru bagi Warga: Menimbang Dampak Perpres 5/2025 terhadap Masa Depan Pengelolaan Kawasan Hutan

Sejumlah warga berjalan di antara potongan kayu gelondongan yang bertumpuk di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). (Foto: Dok. ANTARA)

PARBOABOA, Jakarta - Ketegangan baru kembali muncul dalam perdebatan tata kelola hutan nasional setelah Presiden Prabowo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Setelah sebelumnya pemerintah membuka peluang pemanfaatan hutan untuk kepentingan pangan dan energi sekaligus menegasikan peran sawit dalam deforestasi.

Kini Perpres baru tersebut memantik kekhawatiran lebih besar: munculnya pendekatan militeristik dalam pengelolaan hutan yang berpotensi mengancam keberadaan masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar kawasan hutan.

Sumber kekhawatiran itu tampak jelas dalam pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan. Struktur Satgas, yang terdiri dari unsur pengarah dan pelaksana, didominasi oleh TNI dan Polri sebagai ketua dan wakil ketua.

Penguasaan struktur strategis oleh aparat keamanan inilah yang oleh banyak pihak dipandang sebagai bentuk militerisasi terselubung di dalam pengelolaan ruang hidup masyarakat.

Lebih jauh lagi, Perpres ini menyamakan aktivitas masyarakat—yang selama bertahun-tahun menjadi korban konflik tenurial akibat penetapan kawasan hutan secara sepihak—dengan aktivitas korporasi yang memanfaatkan kawasan hutan secara legal maupun ilegal.

Padahal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan secara tegas memberi ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan untuk mengambil kayu bagi kebutuhan sendiri, selama bukan di kawasan konservasi dan tidak untuk tujuan komersial.

Karena itu, banyak pihak menilai Perpres 5/2025 tidak boleh diberlakukan untuk masyarakat yang masih menunggu pengukuhan kawasan atau tengah berkonflik dengan pemegang izin industri kehutanan.

“Jika memang Presiden berani, harusnya Perpres ini diarahkan untuk menindak korporasi skala besar yang menimbulkan kerugian lingkungan dan meraup keuntungan dari praktik ilegal, bukan menyasar rakyat kecil,” tegas Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Ia juga menyoroti keterlibatan institusi pertahanan dalam Satgas Penertiban, mempertanyakan apakah partisipasi TNI sudah mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana diwajibkan dalam Operasi Militer Selain Perang.

Kekhawatiran lain mengemuka ketika Perpres ini dikaitkan dengan rencana besar pemerintah membuka hutan untuk pangan dan energi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Banyak pihak menilai bahwa militerisasi yang dilegalkan melalui Perpres dapat menjadi alat untuk menggusur permukiman, kebun, dan ladang masyarakat demi membuka ruang bagi proyek baru negara maupun korporasi.

Dalam hal sanksi, Perpres 5/2025 menekankan pembayaran denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara, serta pemulihan aset.

Meski tampak tegas, regulasi ini tidak mengatur secara detail tanggung jawab korporasi dalam memulihkan kerusakan hutan yang telah mereka sebabkan.

Sementara itu, publik menuntut agar penguasaan kembali oleh negara tidak menjadi alasan untuk mengonversi kawasan hutan menjadi proyek bisnis baru.

Keterbukaan informasi menjadi tuntutan utama berbagai organisasi masyarakat sipil. Muhammad Arman dari AMAN menegaskan pentingnya membuka daftar perusahaan yang beroperasi secara ilegal sebagai langkah awal memastikan bahwa Perpres benar-benar diarahkan untuk menertibkan korporasi “nakal”.

Ia juga memperingatkan potensi pemanfaatan Perpres untuk melegitimasi penggusuran Masyarakat Adat yang hidup turun-temurun di wilayah yang diklaim negara sebagai kawasan hutan.

Data lain disampaikan Abdul Haris dari TUK Indonesia, yang menyoroti 2,31 juta hektare kebun sawit milik 2.128 perusahaan yang masuk kawasan hutan, termasuk 569 perusahaan anggota GAPKI dengan luas 810.425 hektare.

Ia menegaskan bahwa kepatuhan hanya dapat terwujud melalui penegakan hukum yang kuat dan partisipasi publik yang terjamin.

Dengan munculnya Perpres 5/2025, masa depan pengelolaan hutan tampak memasuki fase genting.

Pertanyaan terbesar kini adalah: apakah regulasi ini akan menjadi alat penertiban korporasi yang merusak, atau justru menjadi ancaman baru bagi masyarakat yang telah lama menjaga hutan?

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS