PARBOABOA, Medan - Angka kemiskinan di Sumatera Utara (Sumut) diketahui mengalami penurunan pada Maret 2022 dibandingkan dengan September 2021. Hal itu diungkap oleh Badan Pusat Statistika (BPS) Sumut pada Jumat (15/7).
"Pada September 2021, angka kemiskinan di Sumut sebesar 8,49 persen dan di Maret 2022 menjadi 8,42 persen," kata Kepala BPS Sumut, Nurul Hasanudin, Jumat (15/7).
Artinya, angka kemiskinan di Sumut turun sebanyak 0,07 poin. Angka kemiskinan 8,42 persen itu setara dengan 1,27 juta jiwa sehingga ada penurunan 4,88 ribu jiwa dibanding September 2021.
Hasanudin melanjutkan, penurunan angka kemiskinan ini terjadi di daerah pedesaan atau ada pengurangan sebesar 0,28 poin menjadi 7,98 persen. Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami peningkatan dari 0,08 poin menjadi 8,76 persen.
Sementara itu, garis kemiskinan atau besaran jumlah rupiah yang ditetapkan sebagai suatu batas pengeluaran minimal untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang pada Maret 2022 tercatat sebesar Rp561.004/kapita/bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp423.760 (75,54 persen).
“Sedangkan Garis Kemiskinan Bukan Makanan tercatat sebesar Rp137.244 atau sekitar 24,46 persen,” sebutnya.
Lebih lanjut, pada periode September 2021-Maret 2022, baik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) maupun Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan adanya penurunan. P1 turun dari 1,450 pada September 2021 menjadi 1,365 pada Maret 2022, dan P2 turun dari 0,382 menjadi 0.343.
Terkait turunnya P1 mengindikasikan adanya kecenderungan peningkatan rata-rata pengeluaran penduduk miskin yang semakin mendekati garis kemiskinan, atau dengan kata lain kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan berkurang.
Sedangkan P2 yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, turunnya indeks ini mengindikasikan berkurangnya ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin, atau dengan kata lain penyebaran pengeluaran semakin baik atau merata.
Pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Ario Pratomo, menyebutkan, pemerintah harus semakin fokus untuk menahan lajunya inflasi agar pertumbuhan ekonomi tidak terhambat.
Kalau semua harga barang naik, maka daya beli turun dan itu mendorong angka kemiskinan khususnya di perkotaan.