Mycoplasma Pneumoniae Mencuat Karena Kemunduran Siklus? Begini Kata Epidemiolog

Researcher Global Health Security sekaligus Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman. (Foto: Dok Dicky Budiman)

PARBOABOA, Jakarta - Pneumonia kembali marak, menjadi momok yang menakutkan karena menyebabkan kematian khususnya kepada anak-anak. Seperti apa siklusnya?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeteksi peningkatan Mycoplasma Pneumoniae khususnya yang melanda Tiongkok Utara dengan dominasi hingga 40 persen dari jumlah penduduk. Kini Indonesia juga turut terdampak. 

Epidemiolog sekaligus Researcher Global Health Security Griffith University Australia, Dicky Budiman menyampaikan, bahwa kehadiran Pneumonia memiliki siklus dengan jarak waktu tiga, empat dan tujuh tahun sekali. 

“Pada saat ini, akibat masa pandemi tiga tahun empat tahun lalu, siklus itu terganggu. Mereka selama pandemi (COVID-19) tersupresi, jadi hampir semua infeksi saluran nafas itu tidak terdeteksi akibat adanya lockdown, orang pakai masker, jaga jarak yang membuat sebaran infeksi saluran nafas itu menjadi berkurang,” ujarnya saat dihubungi PARBOABOA, Senin (11/12/2023). 

Siklus yang terganggu akibat pandemi COVID-19 lalu menyebabkan siklus Pneumonia terganggu di tengah jumlah populasi rawan terus meningkat karena anak-anak terus lahir, termasuk lansia yang turut bertambah.

Kondisi itu juga diperparah ketika endemi ini berakhir, masyarakat kembali lagi pada pola lama dengan tidak pakai masker lagi, dan sebagainya. 

“Maka sebetulnya kita akan sering melihat fenomena data kasus pneumonia, khususnya kombinasi antara COVID-19 dan kasus infeksi saluran nafas lain, itulah sebabnya ini ancaman ke depan makin besar, khususnya pada balita,” sambung Dicky. 

Pneumonia menjadi infeksi yang menyerang dua lobus paru-paru. Infeksi tersebut bisa berupa cairan maupun nanah. Kondisi itu yang kemudian membuat tubuh sulit untuk bernafas. 

“Akibat kantung udara dalam paru ini yang terisi cairan makaf fungsinya untuk menampung oksigen kemudian tubuh mengambil oksigen itu, itu terganggu, sehingga ini terjadi gangguan nafas,” papar Dicky.

Kondisi tersebut bisa kemudian fatal bahkan bisa menyebabkan kematian. Apalagi kata Dicky cukup mengkhawatirkan jika terjadi pada anak-anak atau bayi yang saluran nafasnya belum beradaptasi atau berkembang dengan baik. 

"Dan inilah sebabnya kenapa pneumonia ini sering  menyebabkan fatalitas bahkan peningkatan perawatan rumah sakit pada balita,” tuturnya. 

Penyebab Pneumonia sendiri beragam mulai dari virus seperti COVID, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Influenza hingga Adenovirus. Termasuk bakteri mikroplasma seperti jamur, polusi atau bahkan asap rokok.

Dicky melanjutkan bahwa orangtua yang merokokok memiliki kecenderungan mengalami pneumonianya besar. Karena pemicunya beragam, maka tenaga kesehatan perlu mendiagnosa ketat penyebabnya. 

Pemerintah, kata Dicky, seharusnya dapat meningkatkan kegiatan riset, khususnya untuk vaksin mikroplasma. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga perlu ditingkatkan sebagai peringatan kepada masyarakat untuk tidak mudah terinfeksi beragam patogen. 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan bahwa saat ini sudah ada 6 kasus Mycoplasma Pneumoniae,  5 pasien pernah dirawat di RS Medistra dan 1 pasien di RS JWCC, Jakarta. 

Dari 5 pasien yang dirawat di RS Medistra, 2 pasien menjalani rawat inap pada 12 Oktober dan 25 Oktober, sementara 3 pasien lainnya menjalani rawat jalan pada November lalu. Kemudian, satu pasien di RS JWCC disebut menjalani rawat inap. 

Dirjen Maxi menyampaikan, seluruh pasien yang terinfeksi Mycoplasma Pneumonia adalah anak-anak berusia 3-12 tahun. Gejala awal yang paling umum ditemukan, yakni panas dan batuk, sesak ringan hingga sulit menelan. 

“Laporan dari rumah sakit, saat ini seluruh pasien telah sembuh,” terang Dirjen Maxi. 

Pemerintah juga tetap melakukan penelusuran kasus, terutama di lingkungan sekolah dan rumah, mengingat bakteri Mycoplasma Pneumonia menyebar melalui droplet. 

“Dari 6 kasus ini, kami lakukan penelusuran. Meski kejadiannya sudah lewat, tentu penyelidikan epidemiologi tetap jalan untuk menggali informasi terutama di lingkungan sekolah dan tempat tinggal. Karena penularannya lewat droplet jadi lebih cepat menular,” kata Dirjen Maxi. 

Selain itu, masyarakat diimbau untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan utamanya memakai masker saat sakit dan saat berada di kerumunan. 

“Bila sakit, sebaiknya pakai masker agar tidak menularkan kepada orang lain terutama kepada keluarga dan orang sekitar,” imbaunya.

Editor: Aprilia Rahapit
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS