PARBOABOA, Jakarta - Peristiwa bunuh diri merupakan jeritan sunyi individu yang kehilangan harapan dan merasa tidak mampu lagi mengatasi tekanan hidup.
Buktinya, hampir 90 persen dari mereka yang memilih mengakhiri hidupnya mengalami depresi, kondisi kejiwaan yang mengerus semangat hidup secara perlahan-lahan.
Kondisi ini membutuhkan perhatian banyak pihak, termasuk media lewat pemberitaan yang menguatkan mental mereka yang berpotensi melakukan bunuh diri.
Namun, kondisinya justru berbalik. Saat ini, media kerap kali menangani kasus bunuh diri dengan cara yang kurang sensitif.
Beberapa laporan bahkan memperlakukan bunuh diri layaknya sebuah peristiwa kriminal, dengan menyingkap identitas korban, alamat tempat tinggal, bahkan kondisi keluarga korban.
Tidak jarang juga modus, alat, dan cara yang digunakan dijelaskan secara rinci. Hal ini, tanpa disadari, bisa memicu fenomena yang dikenal sebagai 'imitasi' atau aksi peniruan.
Sebuah penelitian berjudul Role of Media Reports in Completed and Prevented Suicide: Werther vs Papageno Effects dari Cambridge University, memperlihatkan peran signifikan media dalam membingkai pemberitaan kasus bunuh diri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara media meliput sebuah peristiwa bunuh diri dapat berdampak besar pada masyarakat, baik dalam membantu pencegahan maupun, sebaliknya, mendorong tindakan serupa.
Penelitian tersebut menjelaskan dua efek penting, yaitu efek Werther dan efek Papageno.
Efek Werther menggambarkan fenomena di mana pemberitaan yang sensasional dan tidak hati-hati tentang bunuh diri dapat memicu aksi peniruan di masyarakat.
Di sisi lain, efek Papageno menunjukkan bahwa pemberitaan yang bijak dan konstruktif, yang menyoroti cara-cara untuk mengatasi tantangan hidup, dapat membantu mencegah tindakan bunuh diri.
Di Indonesia, Presiden Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri, Dr. Sandersan Onie mengendus keterkaitan Efek Werther dengan fenomena bunuh diri, terutama di kalangan mahasiswa.
Sandy, sapaan Sandersan Onie menyampaikan hal itu merespons runtutan peristiwa bunuh diri mahasiswa di Surabaya dan di Semarang pada Oktober yang lalu.
Kata dia, publikasi media secara luas dan detail tentang bunuh diri, berpotensi membuat orang yang membacanya berpotensi melakukan hal yang sama, lebih-lebih jika memiliki pengalaman yang serupa.
Tak hanya terjadi pada mahasiswa, fenomena yang sama, lanjutnya, rentan terjadi pada kalangan selebriti dan tokoh terkenal yang memiliki banyak fans.
Karena itu, ia menyarankan agar media lebih bertanggung jawab dengan tidak memberitakan bunuh diri yang disertai dengan metodenya, seperti cara-cara, tempat serta alasan yang digambarkan secara sederhana.
"Atau ada detail ada surat suicide note-nya. Itu bisa meningkatkan risiko orang lain melakukan percobaan bunuh diri," jelas Sandy.
Apa yang Harus Dilakukan Media?
Sandy menyarankan, untuk mencegah tindakan bunuh diri, media sebaiknya menurunkan laporan yang punya efek Papageno.
Di sana, yang harus dipublish adalah kisah-kisah tentang harapan dan cara mengatasi kesulitan setelah mengalami krisis bunuh diri.
Ia mengatakan, pemberitaan seperti itu "memiliki dampak perlindungan bagi orang-orang yang sedang mengalami tekanan."
Pemberitaan tentang bunuh diri sebenarnya juga telah diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023.
Pasal 154 PP a quo menjelaskan, pencegahan bunuh diri dapat dilakukan dengan pengaturan pemberitaan yang benar dan bertanggung jawab di media massa dan media sosial.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO juga mengeluarkan anjuran tentang tanggung jawab media atas pemberitaan kasus bunuh diri.
Komunitas Pers Indonesia, yang terdiri dari wartawan, perusahaan pers dan organisasi pers kemudian menyusun pedoman dan panduan meliput kasus dan upaya bunuh diri.
Poin-poin peliputan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, dalam meliput berita bunuh diri, wartawan perlu mempertimbangkan dampak informasi yang disampaikan.
Berita yang dibuat sebaiknya ditujukan untuk membangkitkan kesadaran tentang permasalahan yang dihadapi oleh korban, bukan untuk mengeksploitasi sebagai berita sensasional.
Selain itu, peristiwa bunuh diri sepatutnya diposisikan sebagai isu kesehatan mental, bukan kriminalitas, karena tidak ada satu penyebab tunggal di balik tindakan tersebut.
Kedua, wartawan harus memahami pemberitaan seperti ini dapat memicu trauma bagi keluarga, teman, dan orang yang mengenal korban.
Oleh karena itu, pengungkapan identitas korban dan lokasi kejadian harus dihindari untuk menjaga privasi dan mengurangi dampak sosial yang bisa dirasakan pihak keluarga.
Demikian pula, penjelasan rinci tentang cara atau metode bunuh diri, termasuk detail peralatan atau bahan yang digunakan, sebaiknya tidak dimuat untuk mencegah risiko peniruan.
Ketiga, penggunaan gambar, video, atau audio korban perlu dilakukan dengan sangat hati-hati, mengingat potensi menimbulkan imitasi.
Dalam hal wawancara, pengalaman traumatis keluarga dan orang terdekat harus diperhitungkan agar tidak memperburuk keadaan mereka. Siaran langsung terkait aksi bunuh diri juga harus dihindari untuk mengurangi risiko pengulangan tindakan tersebut.
Keempat, wartawan perlu menghindari penggunaan bahasa yang stigmatis dan menggambarkan bunuh diri sebagai respons 'normal' terhadap masalah hidup.
Pemberitaan juga tidak boleh memberikan kesan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk heroik. Setiap pemberitaan yang melibatkan data statistik harus disajikan dengan sumber yang jelas dan pengolahan yang cermat.
Terakhir, jika media memutuskan untuk memuat berita bunuh diri, sebaiknya diikuti dengan informasi yang mendukung pencegahan, seperti kontak lembaga atau kelompok pendukung yang dapat membantu individu yang sedang berjuang.
Sebagai informasi, istilah efek werther dalam pemberitaan kasus bunuh diri muncul pada akhir abad ke-18, ketika Johann Wolfgang von Goethe, seorang penulis yang termasyhur, menulis sebuah novel berjudul The Sorrows of Young Werther.
Cerita ini mengisahkan tentang Werther, seorang pemuda yang hatinya remuk karena cintanya yang tak terbalas. Dalam kesedihannya, Werther memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Tak lama setelah novel ini diterbitkan, muncul fenomena yang mengejutkan Eropa, yaitu banyak pembaca, terinspirasi oleh tokoh Werther, meniru tindakannya, bahkan sampai mengenakan pakaian yang sama dan menggunakan metode yang serupa melakukan bunuh diri.
Fenomena ini begitu meresahkan hingga novel Werther akhirnya dilarang beredar.
Kejadian ini memunculkan istilah 'The Werther Effect', yang merujuk pada bunuh diri yang menyebar cepat seperti wabah, sebuah bukti bahwa pemberitaan atau karya sastra tertentu dapat memicu imitasi, terutama di kalangan individu yang rentan.
Di sisi lain, ada efek yang lebih positif, dikenal sebagai Papageno Effect, yang berasal dari opera The Magic Flute karya Mozart.
Di dalam cerita, Papageno, tokoh utama yang dilanda keputusasaan karena kehilangan kekasihnya, Papagena, nyaris mengakhiri hidupnya.
Namun, niat tersebut berhasil dicegah oleh tiga anak laki-laki yang mengalihkan pemikirannya dan memberinya harapan baru.
Berita yang memiliki Papageno Effect berfokus pada sisi pencegahan bunuh diri, menawarkan solusi dan dukungan.
Pemberitaan seperti ini juga mencakup program pencegahan, penelitian yang relevan, dan pandangan para ahli yang bertanggung jawab, serta menyediakan data statistik dan informasi penting tentang layanan bantuan untuk mereka yang merasa putus asa.
Tujuannya adalah untuk menginspirasi harapan dan menunjukkan bahwa ada jalan keluar dari masalah, tak peduli seberat apa pun.