PARBOABOA, Jakarta – Komite Keselamatan Jurnalis dan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) mengecam upaya pembubaran secara paksa diskusi publik bertema “Masa Depan Orangutan Tapanuli dan Ekosistem Batang Toru” di sebuah café di wilayah Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (09/03/2023) siang.
Diskusi publik tersebut diselenggarakan oleh SIEJ dan sejumlah CSO pemberhati lingkungan hidup sebagai bentuk respon terhadap ancaman Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pada bentang alam Batang Toru, Sumatera Utara.
Namun, saat acara akan dimulai, tiba-tiba ada empat orang tak dikenal datang ke lokasi acara dan salah seorang di antaranya marah-marah dengan nada membentak, menyuruh diskusi dibubarkan.
Panitia berupaya menenangkan, namun yang bersangkutan tetap berkeras agar diskusi tidak dilanjutkan dan melabrak sebuah kursi secara emosional.
Salah seorang pelaku mengaku dari Salemba, Jakarta Pusat tanpa menjelaskan asal lembaga dan tujuannya meminta acara diskusi tentang lingkungan hidup itu dibubarkan.
Ketegangan berlangsung sekitar 15 menit, dan akhirnya mulai mereda setelah panitia membawa yang bersangkutan ke lantai bawah untuk berdialog dan panitia menjelaskan konteks acaranya.
“Kami mengecam upaya pembungkaman dengan cara-cara pembubaran diskusi seperti ini,” kata Ketua Umum SIEJ Joni Aswira saat dihubungi Parboaboa, Kamis (09/03/2023).
“Yang bikin kisruh itu, yang mencak-mencak, marah-marah minta bubarin itu satu orang. Tidak tau (dia) itu siapa, entah itu preman, entah apa, kami tidak mengerti,” lanjutnya.
Joni meyakini bahwa ada pihak-pihak yang gerah dengan kegiatan diskusi publik yang menyangkut tentang keselamatan kawasan lingkungan hutan.
Ia juga menduga bahwa pihak-pihak tersebut lebih dari 4 orang. Berdasarkan informasi yang ia terima, bahkan ada yang menyamar sebagai pendengar.
“Kami sangat yakin ini ada pihak-pihak yang gerah, yang merespon dengan cara-cara ‘kampungan’ seperti itu,” ucapnya.
“Harusnya ya kita ini kan di negara demokrasi, kebebasan berekspresi itu kan dilindungi undang-undang,” sambungnya.
Saat ditanyai mengenai tujuan pembubaran, Joni mengatakan tidak mengetahui secara pasti tujuan sekelompok orang tersebut.
Yang pasti, kata dia, pelaku meminta acara tersebut dibubarkan lantaran tidak mengundang pihak pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan lembaga terkait.
“Tapi dia (pelaku) tidak tahu bahwa semua pihak yang dimaksud sudah diundang semua sebagai pembicara,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata dia, diskusi publik itu tetap berjalan usai kejadian itu.
“Tetap lanjut diskusinya,” pungkasnya.
Kecaman terhadap upaya pembubaran diskusi publik tersebut juga dilontarkan oleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ).
Koordinator KKJ Erick Tanjung mengatakan, pihaknya mendukung upaya pelaporan ke pihak berwajib terkait keonaran yang disebabkan oleh sejumlah orang tak dikenal tersebut.
“Maka kami mendorong agar aksi sekelompok orang itu dilaporkan ke polisi untuk diproses secara hukum, karena kami melihat aksi intimidasi dan ancaman ini akan terulang lagi bila dibiarkan. Bukt-bukti sudah ada dan terlihat jelas dalam rekaman video. Maka harus ditelusuri apakah insiden itu merupakan aksi spontan individual atau sudah direncanakan dan siapa dalangnya,” kata Erick.
Ia berharap agar setiap acara diskusi publik yang menyangkut kepentingan umum tidak lagi diganggu apalagi sampai dibubarkan secara paksa.
“Diskusi orang utan Tapanuli ini merupakan respons atas liputan kolaborasi lima media massa nasional beberapa waktu lalu yang mengangkat masalah ancaman Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pada bentang alam Batang Toru, Sumatera Utara. Sejumlah permasalahan proyek diungkap dalam liputan kolaborasi tersebut,” ujarnya.
KKJ mengimbau kepada semua pihak untuk menghargai diskusi hasil liputan jurnalistik sebagai bagian dari kebebasan pers di Indonesia.
“Bila ada yang merasa keberatan atas sebuah karya jurnalistik bisa dilakukan dengan mengirimkan hak jawab ke media. Peraturan tentang hak jawab diatur di pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15 Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999,” tandasnya.