PARBOABOA, Jakarta - “Bajajnya bu, pak,” ujar Ekawati sambil menjaga anaknya dari penglihatan jauh, dengan bajaj biru mencolok berhenti dipinggir jalan dan tas yang diselempangkan ke depan.
Senyuman manis dibawanya untuk menarik perhatian para pejalan kaki.
Suara yang lembut mengajak menaiki bajaj miliknya, dengan tangan yang diangkat sambil diayunkan dan menghampiri pejalan kaki.
Sebungkus nasi pun dibawa berkeliling, dengan suara lantang mencari penumpang, sembari menyuapi anaknya, dan membujuk orang-orang lewat disekitarnya.
Agar anaknya tenang, ia juga membawa mainan. Roda bajajnya dikendarai dengan pelan serta perlahan berhenti untuk mencari penumpang lain.
Tetapi, hanya sejumlah orang yang melihat tanpa berbicara ke arahnya.
Suap demi suap nasi itu habis oleh anaknya. Panas matahari memancar menyelimuti kota Jakarta dengan asap kendaraan yang melaju.
Berjejer pula sejumlah kendaraan baik ojek, angkot ataupun bajaj, dan semua pekerja itu bersorak-sorak untuk menarik perhatian orang sekitar.
Ekawati (43) sebagai single parent pengemudi bajaj biru di ibu kota Jakarta, menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi kehidupan anak-anaknya.
Bekerja dari pagi sampai malam tiada henti, serta berkeliling ibu kota membawa anak terakhirnya.
Tidak ada kata lelah yang ia ucapkan. Bahkan, keringat yang mengucur pun bukan jadi alasannya.
Sudah selama 15 tahun lamanya, ia menjadi pengemudi bajaj.
Tak hanya itu, ia juga harus mengurus rumah, mendidik anak, berbelanja kebutuhan, dan mencari nafkah.
Sebelum menjadi pengemudi bajaj, ia pernah menempuh berbagai kerja serabutan.
Mulai dari supir taksi, berjualan makanan di sekolah sampai bertani kangkung di kanal.
Setiap harinya, ia selalu bangun jam lima pagi sampai jam dua belas malam narik bajaj.
Waktu yang digunakan untuk istirahat hanya dua jam lamanya.
Dengan berdiam di tempat dan mengajak pengguna jalan dari pasar senen sampai ke pasar tanah abang.
Perjalanan paling dekat dengan tarif 15 ribu rupiah, sedangkan paling jauh ke tanah abang 30 ribuan rupiah.
Tantangan sebagai Pengemudi Bajaj Perempuan
Beberapa orang memandang sebelah mata karena seorang perempuan membawa bajaj, tak hanya sekali dua kali saja ia mendapatkan pandangan skeptis dari penumpang.
Mereka menganggap perempuan tidak layak menjadi supir terlebih lagi jika berada di belakang setang kendaraan umum.
Setiap hari di jalanan banyak orang yang menganggap mereka adalah saingan walaupun profesinya sama.
Bahkan, kecelakaan pun pernah dialami olehnya dan anaknya sampai mengalami trauma.
Sudah dua kali bajaj yang dibawanya terbalik. Pertama, ia ditabrak orang dari samping dan kedua akibat grab yang berhenti tanpa peringatan sehingga ia harus melakukan banting setir.
“Kadang-kadang kita dapat kecelakaan, berantem sama orang di tengah jalan, kadang-kadang orang yang nggak mau kita diduluin, sesama profesi, sesama bajaj aja kadang-kadang suka sentimen,” ujarnya.
Selain itu, ia juga pernah mendapatkan perlakuan buruk oleh orang lain, melalui perkataan yang kurang sopan dilontarkan oleh penumpangnya.
Dengan menggoda, bahkan mengajak check-in dengan cara yang tidak pantas.
Biasanya dimulai dengan menyentuh-nyentuh pundak tubuh, perlahan mencuri perhatian dengan sejumlah kata manis sampai melontarkan ajakan dengan dibalutkan senyuman yang mengandung makna.
Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, pelecehan seksual di Ruang Publik pada 2019 sebanyak 64% dari 38.755 perempuan.
Dari data tersebut, sebanyak 60 persen mengaku pelecehan yang dialami berupa secara verbal atau ucapan sering disebut dengan Catcalling.
“Ibaratnya orang yang genit-genit begitu mah udah makanan sehari-hari saya. Tapi ya saya mah anggap biasa aja. Bukan sekali dua kali saya hidup di jalan, sudah 15 tahun saya hidup di jalan. Jadi saya nggak pernah kaget orang begitu,” ujarnya.
Pengemudi laki-laki, Muhidin mengatakan bahwa dirinya tidak pernah mengalami perlakuan sewenah-wenah dari penumpang. Hanya saja penumpang yang dikendarai olehnya tidak sesuai dengan tarif yang disampaikannya.
Menjadi pengemudi bajaj, Ekawati menganggap tidak akan bergantung pada orang lain.
Setiap hari ia mendapatkan uang, sementara pekerjaan lain menunggu sebulan untuk mendapatkan uang dan belum tentu terjamin pendapatannya.
“Saya perlu tiap harinya saya dapat uang, kalau kerja di bulan-bulan, saya nggak bisa per hari saya ngasih makan anak saya, yang saya patokin di situ. Tapi kalau tiap hari saya megang uang, saya bisa ngasih jajan anak saya, bisa ngasih makan anak saya tiap hari, kalau bulan-bulan saya, nunggu sebulan itu lama,” ujarnya.
Selain itu, mencari uang dengan bajaj dapat melepaskan dirinya dari stres dan rutinitas rumah tangga yang membuatnya bosan.
Dengan berada di jalanan, ia merasakan bebas dan mendapatkan hiburan tersendiri dari banyak orang yang berlalu-lalang.
Melalui semangat yang tinggi dan tidak mudah menyerah, memberikan ketahanan seorang ibu untuk menghidupi anak-anaknya.
Di balik keringat yang bercucuran, terdapat harapan yang tinggi. Penuh cinta dan kasih sayang ibu terhadap anak-anak yang dicurahkan melalui bajaj biru yang dibawanya.
Penulis : Kuni Hanifah
Peserta Program Magang Parboaboa