PARBOABOA, Jakarta - “Ting Tong” suara lift kian menyambut kedatangan saya siang itu. Tidak lama setelahnya, Tim Parboaboa pun diantarkan oleh seorang pria paruh baya ke ruang bawah tanah gedung ini.
Setibanya di sana, tak ada satu suara pun yang kami dengar, hanya ada lampu temaram yang menemani kami berjalan menuju tempat itu.
Kemudian, kami pun masuk ke dalam ruang penyimpanan yang berlapiskan kaca di bagian depannya.
Ruangan yang tenang bertemankan suara mesin pendingin mulai mengajak kami untuk mengetahui lebih dalam ke dunia perfilman.
Rangkaian Seluloid atau lembaran plastik fleksibel yang dipakai untuk merekam dan dapat diisi dengan suara, juga kerap disebut sebagai roll film.
Tetapi, Seluloid sudah jarang ditemui dan digunakan dalam dunia perfilman tanah air, jadi akan terasa asing jika didengar oleh generasi saat ini.
Karena, sekarang film Seluloid sudah tergantikan dengan fotografi digital yang lebih tajam dan jernih.
Namun, tidak menutup kemungkinan sebagian orang masih memilih untuk merekam film pada film asli (Seluloid) sebagai pilihan artistik yang tidak umum.
Sebagai media hasil produksi film, terutama abad 20-an, Seluloid perlu terus dijaga dan dialihkan ke dalam bentuk digital.
Sebab bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan dapat merusaknya kondisi film di dalamnya, mulai dari suara yang tidak jelas, gambar yang mulai tergores, hingga gulungan film yang terputus.
Jika dibiarkan begitu saja, maka keberadaan Seluloid semakin berkurang sehingga tidak bisa dinikmati lagi oleh generasi mendatang.
Budi Ismanto (56), salah seorang petugas perawatan roll film yang ada di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jl. H. R. Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, menyampaikan bahwa menjaga keadaan roll film tidak hanya disimpan dalam ruangan, tapi juga perlu dibersihkan.
Karena itu, Budi dan rekannya, Firdaus setiap harinya melakukan pekerjaan ini.
Ia bertugas untuk merawat dan mengecek gulungan film lokal, sedangkan kawannya memeriksa film produksi Jepang.
Satu hingga dua judul berhasil dikerjakannya setiap hari, tergantung banyak sedikitnya kopi Seluloid di setiap judulnya dan kerusakan yang terjadi.
“Kegiatan kita setiap hari ngecekin film, idealnya (perjudul film) empat bulan sekali,”
“Tapi kan kita ribuan filmnya, jadi setiap hari ini kelar, satu judul. Satu judul aja bisa ada enam kopi, jadi itu keluar semua,” kata Budi.
Mengenal Seluloid
Jika dilihat sekejap mata, deretan roll film itu tampak sama layaknya untaian pita film yang digulung dalam wadah.
Terlebih lagi masing-masing roll film disimpan dalam bawah berbentuk tabung datar atau Can.
Mengapa disebut Can? Karena awalnya wadah ini berbahan dasar kaleng, namun karena resiko karat yang dapat merusak film, maka diubah ke bahan plastik yang lebih awet dan meminimalisir kerusakan.
“Iyaa memang aslinya kaleng, kalo kaleng jatohnya nanti karatan malah ke film, masih ada sih beberapa yang pakai kaleng,” pungkas Budi.
Ribuan roll film dari tahun 1935 - 2012 tersimpan dalam ruangan dingin bersuhu 12 derajat celcius dengan kelembaban antara 45-60 derajat.
Budi mengatakan pengaturan suhu dan kelembaban itu dilakukan untuk menjaga kondisi roll film untuk memperlambat kerusakan.
ketgamb Film berjudul “Tie Pat Kai Kawin” produksi 1935 menjadi koleksi seluloid tertua yang tersimpan di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta Selatan. (Foto: Hildha Nur Aini) #end
Film berjudul “Tie Pat Kai Kawin” produksi 1935 menjadi koleksi seluloid tertua yang tersimpan di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta Selatan. (Foto: Hildha Nur Aini).
Melihat dari karakteristiknya, Seluloid memiliki beragam ukuran.
Budi menyebutkan lebar pita film, mulai dari 16 mm, 35 mm, hingga 70 mm, bahkan beberapa ada yang berukuran 8 mm.
Kemudian, untuk durasi per roll film, paling cepat 15 menit dan yang terlama adalah film G30S PKI dengan durasi mencapai 3,5 - 4 jam.
Tidak hanya itu, roll film pun terdiri atas dua macam yaitu, negatif dan positif.
Roll film negatif ini masih berupa bahan mentah yang berisi tayangan film tanpa suara sehingga membutuhkan roll film tambahan khusus suara.
Sedangkan roll film positif adalah hasil cetak roll film negatif yang sudah termasuk gabungan rangkaian gambar dan suara.
“Positif itu gambar dan suara udah jadi satu, kalo negatif dia hanya gambar doang, gak ada suaranya, polos,” ucap Budi.
Budi menambahkan sebelum film dicetak itu memang tidak ada suaranya. Bahkan, film lama pun biasanya menggunakan dubbing untuk mengisi suara. Tetapi, jika ingin cetak ulang film, maka harus dari file negatifnya.
1001 Upaya Menjaga Keutuhan Seluloid
Tahun produksi, bahan, dan kondisi pita film yang berbeda-beda membuat perawatan seluloid tidak bisa dilakukan sembarangan. Berbagai upaya pun juga dilakukan untuk menjaga keutuhan roll film lama.
Seluloid dibuat dari campuran bahan kimia seperti nitrocellulose, kamper, alkohol, serta pewarna dan pengisi. Dengan bahan yang mudah rapuh tersebut membuatnya perlu ditangani dengan hati-hati.
Hal itu dilakukan karena Seluloid mudah terbakar dan beracun jika terkena panas, serta dapat berjamur jika tidak disimpan dengan benar, dan perlahan dapat rusak jika terkena cahaya dan kelembaban.
Saat membersihkan, Budi pun menuturkan proses perawatan dimulai dengan pengecekan kondisi pita film.
“Awalnya dicatat kesamaan identitas di can dulu, sama gak kaya isi filmnya. Cek judul, jumlah ril, panjang film, dan (angka) penyusutan pita,” tuturnya.
Untuk menentukan level penyusutan pita, lanjut Budi, bisa dicocokan dengan jalur roda pita pada potongan pita film yang lain dan masih bagus sebagai patokan atau bisa menggunakan alat khusus.
ketgamb Budi, seorang perawat roll film, sedang memeriksa kondisi siloloid di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta Selatan. (Foto: Hildha Nur Aini) #end
Budi, seorang perawat roll film, sedang memeriksa kondisi siloloid di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta Selatan. (Foto: Hildha Nur Aini).
Kemudian, film yang sudah dicek manual akan ditayangkan melalui alat pemutar film.
Proses ini menjadi salah satu langkah penting dalam perawatan karena dapat mengetahui apakah film itu ada goresan, suaranya rusak, terputusnya pita film, dan lain sebagainya.
Biasanya, ungkap Budi, baret atau goresan yang ada dikarenakan film itu sering diputar karena adanya gesekan yang terjadi dalam mesin putar.
“Nah ini baret, kalo udah begini udah gak (gk bisa diperbaiki). Misal kita mau cetak ulang harus dari negatifnya dulu,” ungkap Budi.
Namun, jika mendapatkan kasus soal pita film yang patah, ada perbedaan perawatan.
Untuk roll film positif bisa ditempelkan dengan solasi khusus, sedangkan roll film negatif memerlukan cairan khusus agar pita film dapat tersambung kembali.
Kemudian, Seluloid juga bisa memiliki kadar asam yang tinggi.
Budi menjelaskan, untuk mengetahui asam atau tidak, dapat dirasa melalui bau dan perubahan warna kertas lakmus yang diletakkan di atas gulungan film itu.
Adapun cara termurah untuk mengatasinya adalah dengan membukanya perlahan.
“Untuk ngilangin ini kadar asamnya, kita gelar, kita buka dan di angin-anginkan. Itu biaya yang paling murah, ini kurang lebih dua hari,” jelasnya.
Sedangkan untuk menghilangkan jamur atau bekas lem sambungan isolasi, maka bisa menggunakan cairan TCE atau Trichloroethylene dengan cara mengusap permukaan pita hingga bersih. Tetapi, pengusapan itu harus dilakukan secara hati-hati agar tidak melukai gambar yang ada.
Budi pun juga menyampaikan beberapa Seluloid ada yang mengkristal, hal itu ditandai dengan butiran semacam debu yang mengkilap di bagian atas gulungan.
Parahnya, lanjut Budi, terkadang ditemukan roll film yang mengalami perlengketan sehingga harus dibuka secara perlahan untuk menjaga gambar dan suara dalam pita film.
Tantangan dan Harapan
Meskipun perawatan dilakukan secara berkala, terkadang ada saja roll film yang berubah kondisinya, mulai dari mengkristal, kadar asam yang tinggi, jamur, perlengketan, dan putusnya untaian roll film.
Budi menjelaskan jika sedikit patahan pada pita film dibiarkan atau penangannya tidak tepat, maka akan merambat dan semakin luas ke rangkaian film, dan hal itu membuat roll film tidak dapat diputar kembali dan berakhir di tempat pembuangan.
Salah satu cara untuk menjaga keutuhan film lama agar bisa dinikmati kemudian hari adalah digitalisasi.
Namun, alat tersebut belum ada di Indonesia dan biaya yang diperlukan tidak murah, karena harus ke luar negeri dahulu yang membuatnya sulit untuk dilakukan, serta waktu pengerjaan yang lama.
“Restorasi itu kita ngerjainnya kurang lebih satu tahun setengah pengerjaannya karena kita ngerjainnya frame by frame, satu satu kita ngerjainnya,” jelas Budi.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa proses pengerjaan itu memerlukan roll film positifnya, negatifnya, dan membawa duplikatnya.
Kemudian dibawa keluar negeri untuk direstorasi. Jadi hasilnya nanti akan berbentuk pita, dan seperti baru lagi.
Di sisi lain, Budi menyampaikan kesulitan merawat roll film itu ketika daya tahannya yang sudah susut, jalur roda film yang sudah rusak dan patah semuanya.
Jadi, dirinya harus berhati-hati dan menggunakan alat pelindung karena bahan dasar dan perawatan Seluloid menggunakan bahan kimia yang dapat berakibat buruk ke tubuh.
Lebih lanjut, Budi berpesan agar roll film ini bisa tetap terjaga agar bisa menjadi nostalgia tersendiri dan sejarah suatu saat nanti.
Ia pun berharap kedepannya akan ada generasi selanjutnya yang meneruskan pekerjaannya ini meskipun harus menempuh pendidikannya ke luar negeri.
Penulis: Hilda Nur Aini
Peserta Program Magang Parboabo