PARBOABOA, Jakarta - Indonesia sebagai negara bahari dengan sumber daya laut yang sangat besar, masih menghadapi sejumlah tantangan di sektor kelautan, mulai dari geofisika hingga infrastruktur.
Hal itu disampaikan CEO Landscape Indonesia, Agus Sari, dalam diskusi virtual yang digelar pada Senin (25/9/2023).
Menurut Agus, meskipun sektor kelautan dan perikanan Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, namun masih banyak tantangan yang perlu diperhatikan secara serius.
Tantangan pertama, kata Agus, dari sisi perubahan geofisika kelautan Indonesia.
Agus menjelaskan, perubahan geofisika kelautan dapat terjadi karena berbagai sebab, baik karena perbuatan yang disengaja seperti penambangan ilegal maupun akibat perubahan iklim.
"Dengan makin panasnya temperatur atau tingkat keasaman makin tinggi, bisa membuat perubahan-perubahan geofisika," papar Agus.
Selain itu, kata dia, banyaknya sampah plastik dan sampah lainnya dalam volume yang besar di wilayah lautan Indonesia juga menjadi tantangan besar yang harus segera diatasi bersama.
Tantangan kedua, lanjut Agus, yakni persoalan infrastruktur dari hulu ke hilir untuk sektor kelautan dan perikanan yang belum optimal.
Hal ini, katanya, akan berdampak pada inefisiensi sektor kelautan dan perikanan di dalam negeri.
Karena itu, Agus berharap semua tantangan itu bisa teratasi melalui kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang berbasis ekonomi biru atau blue economy.
Dia meyakini, implementasi ekonomi biru yang berjalan dengan baik dapat memfasilitasi dan menjawab pelbagai tantangan yang dihadapi sektor kelautan dan perikanan dari hulu ke hilir.
Agus memaparkan, untuk mewujudkan ekonomi biru, perlu ada kerja-kerja kolaboratif yang melibatkan sektor swasta.
Apalagi dalam waktu dekat, kata dia, Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Archipelagic and Island States (AIS) Forum 2023 yang secara khsusu menyorot soal implementasi ekonomi biru.
Sekilas Tentang Ekonomi Biru
Ekonomi biru (blue economy) merupakan konsep ekonomi yang berfokus pada pengelolaan berkelanjutan sumber daya laut dan kelautan, serta pemanfaatan potensi ekonomi tanpa merusak ekosistem laut
Mengutip London School of Economics and Political Science, istilah blue economy pertama kali dipopulerkan oleh ahli ekonomi kelautan dan lingkungan bernama Gunter Pauli pada tahun 2010.
Konsep ini menekankan pentingnya menjaga ekosistem laut dan pesisir, serta memanfaatkan sumber daya kelautan dengan cara yang berkelanjutan.
Ada beberapa aspek penting yang menjadi fokus blue economy:
Pertama, pengelolaan sumber daya yang meliputi pengelolaan sumber daya laut, seperti ikan, terumbu karang, dan hutan bakau, secara berkelanjutan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir.
Kedua, pariwisata berkelanjutan dengan fokus daerah pesisir dan laut, yang dapat memberikan manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan.
Ketiga, transportasi dan perdagangan laut dengan fokus pada meningkatkan efisiensi transportasi laut dan perdagangan internasional, sambil memperhatikan dampak lingkungan dan sosialnya.
Keempat, energi terbarukan dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan di laut, seperti energi gelombang, pasang surut, dan angin laut, untuk menyokong kebutuhan energi berkelanjutan.
Kelima, pengembangan teknologi dalam rangka inovasi untuk eksploitasi sumber daya laut secara lebih efisien dan berkelanjutan.