PARBOABOA, Jakarta – Kasus pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan berusia 16 tahun di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), menggemparkan publik.
Tujuh pemuda tega melakukan perbuatan bejat ini selama dua hari berturut-turut. Tragisnya, tindakan tersebut terjadi di sebuah rumah dinas Polres Belu yang dihuni seorang anggota polisi.
Kasat Reskrim Polres Belu, Iptu Rio Rinaldy Panggabean, membenarkan bahwa kasus tersebut terjadi pada Selasa (11/03) dan Rabu (12/03) di rumah dinas yang berlokasi di belakang Markas Polres Belu.
"Korban masih berusia 16 tahun dan masih di bawah umur," ujar Rio dalam keterangannya pada Sabtu (22/03/2025).
Tujuh pelaku yang berhasil diidentifikasi adalah BA, GJM, AMB, CMS, FMP, JAC, dan KP, yang berusia antara 18 hingga 25 tahun.
"Para pelaku berusia antara 18 hingga 25 tahun, yang semuanya telah masuk kategori dewasa," lanjut Rio.
Dari tujuh pelaku, enam orang telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, sementara satu pelaku lainnya masih dalam proses pengejaran.
Rio juga mengungkapkan bahwa salah satu pelaku adalah anak dari anggota Polres Belu, yang rumahnya justru dijadikan sebagai tempat kejadian perkara (TKP).
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban, Rio menyebut para pelaku terbukti menggunakan unsur pemaksaan dalam melakukan tindakan pencabulan dan pemerkosaan.
Mereka dijerat dengan Pasal 81 ayat (1) dan (2) serta/atau Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan atas PERPPU Nomor 1 Tahun 2016, yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Selain itu, mereka juga dikenai Pasal 76D dan 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Jadi ancaman hukuman bagi para pelaku maksimal 15 tahun," tutupnya.
Kejahatan Berat
Seperti jamur di musim hujan, kasus pelecehan seksual di NTT mengalami peningkatan tajam selama dua tahun terakhir.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTT mencatat terdapat 500 kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2023.
DP3AP2KB menerangkan bahwa faktor utama yang melatarbelakangi maraknya kekerasan seksual adalah hegemoni budaya serta relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki.
Lebih lanjut, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT, Ruth D. Laiskodat menerangkan bahwa sepanjang Agustus 2024, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT telah mencapai 227 kasus.
Berdasarkan catatan DP3A, angka ini mengalami lonjakan drastis jika dibandingkan total kasus dari Januari hingga Desember 2023 yang tercatat sebanyak 323 kasus.
“Lebih banyak anak jadi korban. Kalau tahun 2023, dari Januari sampai Desember, ada 323 kasus. Artinya, bila di Agustus tahun 2024 ini sudah mencapai 227 kasus, berarti kekerasannya sangat meningkat,” ujar Ruth medio 2024 lalu.
Ruth menjabarkan terdapat enam kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak di NTT. Ironisnya, kasus-kasus ini terjadi dalam lingkungan rumah tangga atau di antara orang-orang terdekat korban.
Ia juga menyoroti jumlah kasus yang sebenarnya bisa jauh lebih besar, terutama kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Kekerasannya adalah kekerasan fisik, psikis, penelantaran, pemerkosaan, persetubuhan, pelecehan seksual. Ini di dalam rumah tangga. Ada lagi kekerasan anak di luar rumah tangga,” kata Ruth.
Terpisah, Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (Truk-F), Heni Hungan, menegaskan bahwa banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan tidak berlanjut ke proses hukum yang semestinya.
"Dalam sejumlah kasus yang kami temui, keluarga korban cenderung memilih jalan damai karena merasa malu jika identitas korban diketahui publik," ujar Heni kepada PARBOABOA, Senin (24/03/2025).
Perempuan yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan di Flores itu menyayangkan praktik penyelesaian kasus yang demikian. Sebab, “kekerasan seksual merupakan kejahatan melawan kemanusiaan.”
Menurutnya, cara tersebut tidak memberikan efek jera bagi pelaku, bahkan membuka celah bagi munculnya kasus serupa di masa mendatang.
"Kasus seperti ini akan terus berulang di NTT karena para pelaku menyadari bahwa mereka bisa lolos dengan berdamai," tegasnya.
Karena itu, pihaknya mendorong agar kasus kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan di luar ranah hukum. Negara disebutnya harus memfasilitasi korban untuk memperoleh perlindungan hukum.
Terkait kasus yang terjadi di Kabupaten Belu, ia menekankan perlunya penyelesaian secara tuntas sehingga menjamin pemenuhan hak-hak korban dan pemberian sanksi yang setimpal untuk para pelaku.
"Kasus itu harus diproses hukum. Tidak ada cara lain. Si pelaku harus mendapat hukuman yang berat. Sementara korban harus mendapat rehabilitasi dan pelayanan yang maksimal dari negara," pungkasnya.