PARBOABOA, Medan – Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) menetapkan Ketua Komunitas Adat Dolok Parmonangan, Sorbatua Siallagan sebagai tersangka dalam kasus pengrusakan lahan.
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi SH SIK menerangkan kronologis penangkapan Sorbatua Siallagan, Sabtu (22/03/2024).
Penangkapan Sorbatua Siallagan ini berdasarkan Laporan Polisi (LP)/B/717/VI/2023/SPKT/Polda Sumatera Utara, per tanggal 16 Juni 2023. Pelapor dalam kasus ini adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL).
“Pelapor adalah Reza Adrian yaitu Litigation Officer PT Toba Pulp Lestari, TBK,” ucap melalui keterangan tertulisnya.
Warga Simalungun dilaporkan karena merusak dan menebang pohon eucalyptus serta membakar lahan yang ditanami oleh PT. TPL. Ia juga melakukan pembakaran hutan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
Sorbatua Siallagan juga disebut menguasai lahan PT TPL dengan cara membangun lima unit pondok serta melakukan penanaman pohon seperti ubi, jahe, cabe, jagung dan tanaman lainnya.
Dalam laporan itu, luas lahan PT TPL yang diduduki oleh Sorbatua Siallagan dan rekan-rekannya sekitar 162 Hektar, sesuai Peta Klaim Areal Perusahaan.
Dalam laporan kepolisian itu, dinyatakan bahwa Sorbatua Siallagan tidak memiliki dasar atau alas hak apapun untuk mengerjakan lahan atau menduduki kawasan yang merupakan konsesi milik PT TPL.
Hadi Wahyudi menjelaskan, penyidik Polda Sumut telah melakukan dua kali pemanggilan kepada Sorbatua Siallagan. Panggilan pertama dilakukan pada 6 Oktober 2023 dengan surat bernomor S.Pgl/1449.a/X/2023/Ditreskrimsus. Panggilan kedua dilakukan pada 16 Oktober 2023 dengan nomor surat yang sama.
Hadi mengatakan, Sorbatua Siallagan tidak menghadiri panggilan tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pada Jumat 22 Maret 2024 tepatnya pukul 09.00 WIB pihaknya menemui Sorbatua Siallagan di Simpang Simarjarunjung, Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun.
Sorbatua kemudian diangkut dengan sebelumnya memperlihatkan Surat Perintah Membawa Saksi bernomor S.Pgl/1449.b/III/2024/Ditreskrimsus per tanggal 7 Maret 2024.
Diakui Hadi Wahyudi, pihaknya terpaksa membawa Sorbatua Siallagan secara paksa karena adanya penolakan dari pihak keluarga yaitu istrinya dengan cara menghalangi penyidik.
“Istrinya menghalangi dan melakukan perlawanan, katanya ‘Naing sappulu hali hamu maboan surat panggilan, hami dang parduli (mau sepuluh kali kalian membawa surat panggilan, kami tidak peduli),” ujarnya.
Oleh karena itu, penyidik melakukan upaya paksa dengan membawa dan mengamankan Sorbatua Siallagan ke Polda Sumut untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Sementara itu, Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Doni Munthe kepada PARBOABOA, Sabtu (24/03/2024) membantah adanya surat panggilan sebelum Sorbatua Siallagan diangkut paksa oleh oknum kepolisian.
“Tidak pernah ada surat panggilan sebelumnya. Tiba-tiba ketika bapak itu keluar rumah akan membeli pupuk untuk tanamannya langsung diringkus begitu saja, tanpa ada informasi sebelumnya,” tegasnya.
Doni memaparkan kronologis penangkapan Sorbatua Siallagan dimana ada sepuluh orang berpakaian preman yang menangkap paksa. Keluarga bahkan sempat mencari kemana-mana sampai melaporkan ke polisi melalui Polsek Tiga Dolok, Dolok Panribuan, Simalungun.
Pencarian Sorbatua Siallagan oleh keluarganya dilakukan selama hampir enam jam, sampai akhirnya diketahui terjadi penangkapan paksa. Doni Munthe memaparkan, apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian adalah bentuk pelemahan perjuangan masyarakat adat memperjuangkan hak atas tanahnya yang dikuasai oleh PT TPL.
Selama ini, wilayah adat Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh di Kecamatan Dolok Panribuan Kabupaten Simalungun telah dirampas oleh PT. TPL. Dalam persoalan ini, masyarakat adat kerap mengalami kekerasan dan intimidasi oleh pengamanan perusahaan dan oknum kepolisian.
Penangkapan Sorbatua Siallagan kali ini dinilai Doni Munthe sebagai tindakan kriminalisasi dari perjuangan masyarakat Adat Dolok Parmonangan yang terus mempertahankan tanah adatnya.
Selama ini, PT. TPL telah merampas tanah adat dengan dalih izin konsesi yang diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Doni menerangkan, masyarakat adat keturunan Ompu Umbak Siallagan yang saat ini berdomisili di Dolok Parmonangan sudah mendiami wilayah ini secara turun temurun.
Selama ini masyarakat adat ini hanya bekerja di atas tanahnya untuk mencari nafkah. Tuduhan atas pengrusakan dan pembakaran dinilai tidak mendasar. Pasalnya, justru PT. TPL yang hadir di tanah itu tanpa sepengetahuan masyarakat adat kemudian menanami eucalyptus.
“Konflik ini karena ada perusahaan di situ, kalau tidak ada ya tidak ada konflik,” ucapnya.
Terkait adanya pengrusakan dan pembakaran, Doni memaparkan, dalam hal melakukan penanaman oleh masyarakat adat maka dilakukan pembakaran rumput di sekitar lahan. Namun masih dalam tahap kewajaran.
Tidak ada proses pengrusakan lahan apapun seperti yang dituduhkan oleh kepolisian dan perusahaan. Masyarakat adat sudah menyampaikan kepada pemerintah agar perusahaan jangan lagi beraktivitas di wilayah mereka.
Bahkan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) wilayah Siantar sudah mengeluarkan surat kepada perusahaan untuk tidak melakukan aktivitas apapun di lahan yang diklaim perusahaan.
“Surat sudah dikeluarkan oleh KPH Siantar, tetapi perusahaan malah menyemprot tanaman ubi yang sudah ditanam oleh masyarakat setempat sebelumnya. Ini kan membangkitkan amarah masyarakat adat ke perusahaan,” jelasnya.
Doni Munthe menambahkan, pihaknya tegas meminta kepolisian untuk membebaskan Sorbatua Siallagan dari segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi.
Pihaknya juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar segera mencabut ijin PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL) dari wilayah adat Dolok Parmonangan. PT. TPL juga harus segera ditutup dari tanah Batak karena telah merampas dan merusak wilayah yang dititipkan oleh leluhur terdahulu.
“Masyarakat Adat Dolok Parmonangan bukan penjahat. Mereka hanya mempertahankan tanah yang merupakan warisan leluhurnya,” tegasnya.
Editor: Fika