PARBOABOA, Jakarta – Penggunaan Liquefied Petroleum Gas (LPG) saat ini semakin membebankan negara lantaran subsidi LPG 3 Kg dan bahan bakunya yang hampir sebagian besar diimpor dari negara lain. Maka dari itu, penetapan alternatif pengganti LPG kian mendesak.
Anggota Komite BPH Migas, Yapit Saptaputra menyebutkan bahwa pada tahun 2023 mendatang, kebutuhan atas LPG 3 kg masih sama dengan tahun 2022, yakni sebesar 8 juta MT atau 80 persennya berasal dari impor dengan besaran subsidi Rp117,4 trilliun.
Namun, Yapit mengatakan bahwa nilai subsidi tersebut ke depannya masih berpotensi mengalami peningkatan di tengah ketidakjelasan arah perekonomian dunia .
"Harga Contract Price (CP) Aramco untuk bahan baku LPG (Propane dan Butane) rata-rata tahun 2022 UD 777 per MT, masih diatas asumsi awal perhitungan penghitungan subsisi BBM tahun 2022 sebesar USD 569 per MT dengan nilai subsidi LPG tahun 2022 sebesar Rp 134,7 triliun," kata Yapit, di Jakarta, dikutip dari Liputan6, Senin (3/10).
Ia kemudian menilai, konversi minyak tanah yang dilakukan pada 2007 yang berhasil dilakukan guna menghindari beban subsidi seolah tidak ada hasilnya. Ia mengatakan bahwa subsidi LPG kini semakin membengkak lantaran pola distribusinya masih terbuka dan tidak tepat sasaran.
Yapit mengatakan, diperlukan upaya-upaya yang sustain dalam mencari sumber energi untuk masyarakat dengan mengandalkan sumber energi domestik. Untuk itu, diperlukan usaha progresif dalam menyediakan energi substitusi bagi masyarakat sesegera mungkin.
Dijelaskan Yapit, energi substitusi tersebut bisa berupa gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagau program hilirisasi batubara sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Pemanfaatan DME sangat mungkin dilakukan untuk menggantikan LPG.
DME sendiri memiliki sifat-sifat dasar yang tidak terlalu berbeda dengan LPG dan tidak akan merubah spesifikasi tabung LPG. "Sebagai pioneer proyek gasifikasi terletak di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang dikerjakan bersama antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Products & Chemicals Inc (APCI), perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat. Namun target produksinya sendiri masih cukup lama yakni tahun 2028," ungkapnya.
Ia menambahkan, peningkatan gas bumi domestik untuk sektor rumah tangga harus ditingkatkan. Sebab, hal itu berkaitan dengan upaya-upaya menekan subsidi LPG agar sejalan dengan transisi energi. Oleh karena itu, jaringan gas (Jargas) kota untuk sektor rumah tangga menjadi hal mendesak dan harus dilakukan oleh pemerintah.
Ia mengatakan, jaringan gas bumi merupakan langkah terbaik yang bisa dilakukan oleh pemerintah sebagai produk substitusi LPG kepada masyarakat. Jargas akan berorientasi tidak hanya kepada kalangan yang selama ini menikmati LPG subsidi saja, namun akan dapat dinikmati oleh kalangan umum.
"Pola distribusinya juga diarahkan kepada rumah tangga, bukan perorangan. Upaya kontrolnya akan lebih terkelola lebih baik," ujarnya.
Untuk diketahui, pemerintah dan Perusahaan Gas Negara (PGN) telah melakukan pembangunan jargas kota sejak 2009 hingga 2021. Jargas tersebut telah aktif melayani sebanyak 516.720 masyarakat dan 118.718 sambungan rumah (SR), di 18 provinsi dan 64 kabupaten/kota.