Napak Tilas Blora bersama Pramoedya Ananta Toer
PARBOABOA - Menjelang magrib tetamu minta diri. Sebelum beranjak beberapa dari mereka yang merupakan aktivis mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) mengundang kami untuk bertandang ke kantor mereka. Kami mengatakan akan datang.
Aku tinggal berdua dengan Pram saja di rumah saat yang lain keluar untuk membeli makanan. Tak banyak yang kami bicarakan karena Pram asyik mengkliping. Terkadang ia bernyanyi dan bercakap sendiri. Pasti sudah capek dia.
Pukul 20.00 makanan datang. Kami sedang bersantap waktu kawan-kawan dari NU datang menjemput.
Selesai mengisi perut kami pamit ke Pram dan Pak Coes. Ke alun-alun kami naik becak. Di markas kawan-kawan itu sebentar saja kami. Ditambah dengan aktivis NU lain yang sedari tadi telah menunggu di sana, kami lantas bergerak ke alun-alun dengan berjalan kaki. Jarak tempuh dekat saja.
Di alun-alun kami ngopi sembari membicarakan banyak hal termasuk konstelasi politik kontemporer dan gerakan mahasiswa. Tahu bahwa Rhein Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) semasa gerakan reformasi 1998 kian semangat mereka bertukar kata. Kawan-kawan itu ternyata sedang menyiapkan buku ihwal PKI dan tentang kehidupan suku Samin di pinggir Blora. Kami membincangkannya juga.
Kami pamit ke kader muda NU tersebut saat arloji di tangan memperlihatkan pk. 23.00. Kami pulang jalan kaki.
Jumat, 12 Desember 2003
Ini adalah hari terakhir kami di Blora. Bangun pagi, mandi dan bersiap kerja serba lebih awal. Kami berbagi tugas. Aku dan Has mewawancarai Pram di depan rumah soal rumah yang dibangun Pak Toer, masa kanak-kanak mereka di sana, dan yang lain. Rhein dan Amang menyiapkan setting wawancara dengan Bu Oemi.
Selesai meng-interview Pram pukul 09.45 kami menyusul ke rumah Bu Oemi. Pukul 10.00 kami bertemu, berkenalan, dan ngobrol ringan dengan Bu Oemi. la memperkenalkan suaminya, Pak Mashudi, seorang keturunan Arab.
Kehabisan baterai dan kaset kecil, aku bergegas ke pasar. Pulang, wawancara ternyata belum dimulai. Masalahnya, tuan rumah sedang menerima tamu.
Wawancara sesi pertama pukul 10.30-12.00. Bu Oemi menceritakan banyak hal menarik ihwal keluarga Toer di masa yang sangat sulit-berat. Jelas, adik yang akrab dengan Pram ini seorang penutur berbakat. Kami merasa beruntung sekali berkesempatan menggali informasi dari dia.
Selesai wawancara sesi satu kami makan siang dengan Pak Coes di restoran Gadjah dekat alun-alun. Lantas jalan-jalan ke pasar dan di sana membeli daster batik di toko pasangan Tionghoa. Kami ngobrol dengan sang suami yang usianya sudah 70 tahun lebih. Ia bercerita bagaimana tokonya dijarah penduduk pribumi atas perintah Jepang yang berkuasa, dulu. Di warung sebelah kami singgah dan membeli kopi luwak untuk oleh-oleh. Selesai belanja kami kembali ke rumah Bu Oemi.
Wawancara sesi kedua pada pukul 14.00-16.00. Kali ini setting-nya di rumah bagian belakang. Rumah ini ternyata, tak kami sangka, panjang betul. Bu Oemi menjelaskan: bagi masyarakat setempat ukuran rumah merupakan kebanggaan. Sebab itu, untuk meninggikan harkat, mereka akan mengupayakan tanah yang luas atau panjang untuk lokasi kediaman.
Kembali banyak cerita yang kami dengar dari Bu Oemi. Kesimpulan kami narasumber ini memang orang yang cerdas kendati tak tamat SD.
Seusai wawancara kami balik. Ternyata Pram sudah siap berangkat ke Jakarta. Kami akan pulang bareng sesuai kehendaknya. Karcis kereta eksekutif beberapa hari sebelumnya sudah kami pesan di stasiun.
Pram memang disiplin. Ia tak mau terlambat. Sejak pukul 16.30 ia mulai gelisah karena mendapat kabar kemungkinan mobil carteran yang akan membawa kami ke stasiun Cepu terlambat. Hujan deras turut mengusik pikiran dia.
Mobil jemputan muncul tepat waktu. Kami berempat pamitan ke Pak Walujadi. Kami kasih uang ke dia sebagai tanda apresiasi. Ternyata ia menolak bahkan tersinggung. Ia menyatakan dirinya miliarder yang punya deposito berlimpah di Bank Jetis. Ia sarankan ke bank itu saja kami berdeposito kalau memang punya uang yang banyak juga.
Kami menjadi serba salah. Pram memberi isyarat untuk jalan. Pak Walujadi kami salami. Hormat kami ke lelaki sepuh yang banyak menderita sejak 1965 ini.
Mobil bergerak cepat membawa kami ke Cepu. Selama di perjalanan Pram mengeluhkan pohon jati yang semakin jarang terlihat akibat dibabat orang.
Kami sampai di stasiun pukul 18.00 langsung bayar tiket. Pram mengatakan ia lapar dan ingin makan. Tumben! Kami bergegas ke restoran. Selesai makan kami masuk stasiun. Iwan Fals bilang dalam lagunya kereta terlambat itu biasa. Betul saja. Seharusnya kami berangkat pukul 19.30; kereta baru tiba pukul 20.00.
Aku duduk bersebelahan dengan Pram. Selama di perjalanan kami melanjutkan wawancara dan pengambilan gambar. Seorang lelaki tambun dengan usia berkepala tiga sejak awal memperhatikan kami. Kepada Rhein yang duduk persis di depannya ia bertanya apakah orangtua itu Pramoedya Ananta Toer. Rhein mengiyakan.
Orang itu kemudian minta dikenalkan. Sebaik dikenalkan dan bersalaman lelaki itu lantas mengajukan sejumlah pertanyaan. Pram menjawab dengan ramah. Setelah orang itu beringsut pengambilan gambar kami teruskan.
Akhirnya Pram mengatakan dirinya amat lelah. Kami akhiri kegiatan. Masih pukul 22.00 sebenarnya; tapi kami semua sudah keletihan juga. Kami mulai tidur. Entah pukul berapa kereta kemudian berhenti.
Sudah di stasiun Cirebon rupanya. Mengejutkan, Pram bilang ingin kopi. Kami belikan untuk dia dan kami bertiga. Ngopi bersama berlangsung.
Pukul 06.00 kereta tiba di Gambir. Rupanya anak laki-laki Pram,Yudi, sudah menunggu. Kami antar Pram sampai ke mobil di parkiran. Eh, Mbak Titi dan Bu Maemunah ada di sana rupanya.
Setelah bertukar cerita sebentar kami “serahterimakan” Pram ke mereka. Ucapan terima kasih kami dapatkan dari Pram dan keluarga yang menjemput.
ltulah akhir perjalanan kami. Bagi kami sangat menarik. Saat itu aku merasa besar kemungkinan hal seperti ini tak akan terulang lagi. Ternyata, begitulah adanya.
Tamat.Editor: Rin Hindrayati