Lima Hari Saya Ditahan Komando Keamanan dan Ketertiban, Komkamtib

Lima Hari Saya Ditahan Komando Keamanan dan Ketertiban, Komkamtib
Ahmad Tohari, salah satu sastrawan terbaik Indonesia (Foto: P. Hasudungan Sirait/Parboaboa)

Wawancara eksklusif dengan Ahmad Tohari, novelis terkemuka asal Banyumas

PARBOABOA, Purwokerto – Novelnya yang terkenal dan fenomenal, Ronggeng Dukuh Paruk, terbit pada 1981. Karya ini telah dicetak ulang 21 kali dan diterjemahkan dalam 8 bahasa asing termasuk Inggris, Jerman, dan Belanda.

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan bagian pertama dari trilogi. Sambungannya adalah Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Dua film layar lebar berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) dan Sang Penari (2011) merupakan adaptasi dari roman yang berlatar kehidupan masyarakat di sebuah desa terpencil nan miskin.

Sudah lama kami berencana menjambangi novelis besar asal Banyumas, Jawa Tengah, Ahmad Tohari. Pucuk dicita, ulam pun tiba. Rencana kami untuk bermuka-muka dan menggali cerita dari sastrawan yang pernah menjadi jurnalis di Jakarta itu akhirnya mewujud pada Desember 2024. Seperti gayung bersambut, semua rencana yang serba dadakan rupanya berjalan lancar.

Saat kami tiba di kediamannya yang asri di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, ia baru saja memenuhi undangan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti.

“Saya diundang ke Jakarta sebagai sastrawan. Yang diundang itu ada 100 lebih sastrawan dan penulis,” kata Ahmad Tohari.

Berikut ini penggalan tuturan sosok yang masih saja bugar di usianya yang ke-76 kepada Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait dari Parboaboa.

Sejak kapan Anda senang menulis?

Tadinya saya sangat suka membaca. Bukan pernah membaca ya tapi sangat senang membaca. Kalau tidak ada buku yang baru, saya akan lari ke mana-mana untuk mencari buku termasuk ke Jakarta. Dengan demikian buku yang saya baca jumlahnya sangat banyak.

Antara lain, membaca buku apa di awal-awal?

Yang paling terkenal tentu Pramoedya Ananta Toer. Saya juga suka Muchtar Lubis dan Sutan Takdir Alisjahbana. Buku Layar Terkembang karya Sutan Takdir saya baca. Lalu, Hamka. Buku klasik dari Sumatra, judulnya Siti Nurbaya, saya baca. Itu semua saya baca. Tapi kemudian saya tersentak ketika membaca buku karya John Steinbeck, pemenang Nobel. Tortilla Flat ternyata sudah ada dalam bahasa Indonesia [Dataran Tortilla]. Penerjemahnya orang Sumatra.

Apakah minat baca Anda sudah tumbuh sejak dini? Sementara, kalau kita lihat sekarang, minat baca orang Indonesia itu termasuk paling rendah di dunia.

Pertanyaan yang penting. Para orang tua harus disalahkan. Minat baca itu datang kemudian setelah rasa ingin tahu itu ada. Ada imajinasi. Nah, bangkitkan dulu imajinasi itu. Kalau sudah ada imajinasi, orang nanti baru ingin punya rasa ingin tahu. [Saat ini] membangkitkan imajinasi sudah tidak dilakukan karena itu adanya adalah pada kegiatan mendongeng. Kalian juga sudah tidak mendongeng, kan? Semuanya juga tidak mendongeng. Jadi, jangan menyalahkan anak kalau mereka itu nggak suka membaca.

Kalau saya dulu kan (mendengarkan) dongeng di mushola. Di kelas juga (ada) dongeng. Di rumah (ada) dongeng. Misalnya dongeng siksa kubur...Wah, ada lagi dongeng tujuh puluh dua bidadari. Itu dinyanyikan di mushola-mushola. Jadi, surga itu dihuni oleh 72 bidadari. Kemudian saya bayangkan sendiri kalau 72 bidadari pasti ada tampang Jawa, Sunda, Batak, Bali. Juga, Cina, Belanda, negro....; semuanya ada.

Karya utama (Foto: P. Hasudungan Sirait/Parboaboa)

Ada puji-pujian, nyanyian, Setiap anak menyanyikan lagu pujian tanpa tahu maknanya. Kita masuk mushola sambil menyanyi. Maka, iman akan datang. Itu namanya lagu puji-pujian, menyanyi tentang agama. Ini tradisi Nahdlatul Ulama [NU]. Itu pun sekarang sudah tidak ada lagi. NU-nya sudah kaya’ Muhammadiyah ha, ha, ha...nggak suka lagi yang gitu-gituan. Jadi, sayang sekali tradisi puji-pujian itu hilang. Tradisi mendongeng itu sudah hilang. Dan itu kesalahan kita, bukan kesalahan siapa-siapa.

Yang paling mendorong Anda sehingga kemudian suka membaca itu kitab apa?

Saya sampai lupa buku apa yang pertama saya baca karena banyak sekali yang saya baca. Tapi yang paling saya terkesan itu buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Itu yang paling terkesan karena saya Jawa tapi terpukau melihat bahasa Melayu. Marah Rusli bahasanya Melayu betul. Itu saya terpukau.

Bukan karena jalan ceritanya?

Bukan. Lebih dari itu. Makanya saya [jadi] pecinta bahasa. Kalau membaca novel-novel saya, itu bahasa final. Bahasa yang tidak bisa lagi diedit.

Saat Anda menulis ada proses khusus untuk mengedit?

Saya kan editor, masa’ diedit lagi. Saya sendiri kan editor.

Maksudnya, saat Anda menulis apakah otomatis secara sadar mengedit tulisannya?

Kalau nggak puas ya disobek saja, ha, ha, ha... Dulu pakai mesin ketik, suara tik tok tik tok dari mesin itu memicu ide kreatif.

Saya jadi teringat teman dari Filipina, namanya Rodrigues. Ketemu di luar negeri, dibawanya mesin ketik. Dia bilang I love this maschine. Jadi, dibawa. Suaranya itu menimbulkan inspirasi terus.

Tadi Anda bercerita bahwa awalnya adalah bacaan, melahap banyak buku. Apa beda karya Steinbeck Tortilla Flat dengan karya-karya Indonesia?

John Steinbeck, sang pemenang Nobel. Tentu saja kadarnya ketahuan. Ketika menuliskan alam dan kelakuan manusia, dia nggak ada tedeng aling-aling. Itu yang saya suka. Kalau mau bilang porno, ya porno diterus-terusin. Dia menuliskan sesuatu yang sangat-sangat memelas dengan sangat jelas. Ada di buku karyanya begini: satu keluarga miskin. Ketika memberi makan anak-anaknya itu cuma dengan merebus jagung. Lalu jagung itu disebar di lantai, lalu anak-anak itu makan. Itu kan sangat menyesakkan saya. Keterusterangan dan kejorokan semacam itu yang mempengaruhi saya dalam menulis.

Ronggeng Dukuh Paruk, seperti itu. Pernah saya sodorkan kepada seorang pengamat sastra sambil saya bilang: Ronggeng Dukuh Paruk terpengaruh buku ini [karya Steinbeck]. Dia kemudian baca dan bilang: Ah, tidak, katanya. Dia malah nggak percaya.

Pengamat sastra itu Sapardi Djoko Damono?

Iya betul. Katanya: Tidak, ini [karya Ahmad Tohari] kamu, kamu, dan ini [karya Steinbeck] dia, dia. Memang sih tetap beda.

Tapi yang jelas begini: saya adalah anak kampung yang menghayati kehidupan kampung. Saya ketika kecil bermain lumpur, mandi di kali, main di sungai.

Dekat dengan kodok, ular...

Iya. Rumah saya, rumah orang tua di ujung sana, langsung berbatasan dengan sawah. Jadi kodok, ikan, dan ular setiap hari saya temui.

Bahasa yang final (Foto: P. Hasudungan Sirait/Parboaboa)

Lalu ada ajaran ibu saya yang masuk [ke otak] bahwa semua itu ciptaan Tuhan jadi jangan kamu ganggu. Namanya anak-anak..,capung saja kan suka diburu lalu dijepiti. Itu dilarang ibu saya: jangan...jangan...itu ciptaan Tuhan.

Yang paling menarik adalah pengalaman dengan laba-laba. Ibu saya bilang, laba-laba itu untuk membuat sarang membentang dari pohon ke pohon. Untuk membangun ramat [sarang laba-laba] yang pertama dia harus lari turun ke tanah, nyambung sini-sana. Ditempelkan, dia tarik lalu membentang. Nah, ramat yang pertama itu akan dikembangkan menjadi yang seperti jala itu.

Saya mengikuti proses-proses alamiah seperti itu. Dan itu mengasyikkan. Lama-lama, ketika saya sudah masuk agama ke sini, lalu itu saya pakai sebagai tasbih. Tasbih itu artinya memahasucikan Tuhan.

Bagaimana menjadikan fenomena alam jadi tasbih dalam proses kreatif seorang Ahmad Tohari?

Itu menjadi motornya, menjadi inner power, menjadi kekuatan di dalam diri saya. Jadi, ketika misalnya saya menulis: Di atas Dukuh Paruk seekor pipit sedang terbang seperti batu lepas dari katapel. Di belakangnya terbang lebih cepat seekor alap-alap yang kemudian menerkam itu dan menggigit. Bulu-bulu kemudian berserakan di udara. Itu detil sekali dan saya sangat asyik dengan detil seperti itu.

Kemudian politik. Tahun ’65, saya sudah SMA kelas dua. Jadi peristiwa politik itu saya sudah bisa tangkap dan klimaksnya ketika tentara-tentara itu menembaki orang-orang PKI di depan mata saya. Di depan publik maksudnya. Di depan masyarakat.

Kejadiannya di mana?

Di sini [di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang].

Mereka dieksekusi?

Iya, di depan publik. Dan itu tiga kali saya menyaksikan. Yang pertama satu orang, kedua 13 orang, dan ketiga dua orang. Mereka dieksekusi ada yang di halaman kuburan dan di tikungan jalan di sebelah sana yang di belakang pasar.

Itu gila! Itu gila! Saya pikir itu kemanusiaan saya sangat-sangat memberontak; sangat terusik. Kok bisa seperti ini! Nah, itu yang mengendap, menyublim, kemudian menjadi Ronggeng Dukuh Paruk. Tetapi, ini muncul pada bagian terakhir [buku ketiga] di Jantera Bianglala.

Lebih menarik lagi, massa itu ikut stres. Benar-benar stres. Jadi, massa pun ikut bersorak ketika korban ditembak jatuh. Itu gila! Bukannya prihatin. Malah ketika tahanan itu diarak dari kantor polisi dan lewat jalan raya ini, itu orang-orang sudah rame-rame bersorak sorak, joyful. Betul itu. Malah ada yang ngeplak kepalanya. Ini sesuatu yang betul-betul mengusik nurani saya.

Peristiwa itu sangat membatin, masuk ke dalam novel-novel itu. Menjadi sangat sublim. Cuma ya tentu nggak berani, karena malah nanti saya sendiri yang ditembak Pak Harto ha, ha, ha...

Ketika membaca Jentera Bianglala, saya merasakan penulisnya sudah masuk ke isu sensitif. Tapi, itu nanggung. Sama dengan Umar Kayam di novel Para Priyayi. Masuk sedikit-sedikit tapi pelan-pelan berpaling sehingga tanggung. Mengapa tidak dieksplor lebih jauh? Saya pernah tanya ke Pak Kayam. Dia bilang, nggak mungkin di zaman itu.

Iya betul seperti itu. Saya menghadapi dua hambatan, tapi saya tabrak.

Hambatan pertama, saya sudah menghitungnya, ini pasti tentara akan berurusan dengan saya. Eh, betul.

Penggambaran yang serba detil dan hidup (Foto: P. Hasudungan Sirait/Parboaboa)

Saya dipanggil ke Komkamtib [Komando Keamanan dan Ketertiban]. Itu tahun ’86. Lima hari di Jakarta. Lima hari saya ditahan di sana. Dikasih pertanyaan yang sama terus menerus: Anda PKI kan? Anda pendukung komunis kan? Pertanyaan itu diulang-ulang.

Yang saya heran mereka itu punya dokumen ketika saya nonton Pesta Rakyat Lekra. Mereka bilang, “Sodara kan ada di Pesta Rakyat di Alun-alun Purwokerto kan?” Intelnya entah siapa itu. Tapi akhirnya saya tetap bertahan mengatakan bahwa saya orang NU. Saya sedikit mengerti Marxisme tetapi kan [pengetahuan] anak SMA. Ngertinya kan nggak seberapa.

Namun, ada pertanyaan mereka yang justru membebaskan saya. Mereka bilang, “Kalau sodara bukan PKI, siapa yang menjamin Anda?”

Nah [pertanyaan] ini yang membuat saya plong. Lalu, saya minta kertas. Saya tulis nama, saya tulis nomor teleponnya. Dan saya bilang, ini, orang ini [yang bisa menjamin], hubungi saja sekarang. Ini nomor teleponnya.

Siapa orang itu?

Nanti dulu he, he...

Itu tentara-tentara itu pada saling pandang. Ternyata [mereka] betul-betul tidak berani menghubungi orang itu. Dan orang itu adalah Abdurrahman Wahid. Jagoan. Dia memang teman saya. Jadi saya nggak bohong. Terus apa reaksi mereka? “Baiklah kalau begitu, pemeriksaan selesai. Silakan tanda tangan ini.”

Itu setelah saya ditahan selama 5 hari. Saya kira dalam 5 hari [berat] badan saya kurang sampai 2 kilo ha, ha, ha...ya Ampun.

Anda masih ingat tempatnya di mana itu?

Kayaknya di Kebayoran Baru. Jalan Dharmawangsa nomor 1. Edan betul saya ha, ha, ha...

Anda tadi mengatakan, awalnya membaca banyak buku kemudian menulis. Apa yang di awal Anda tulis? Cerpenkah?

Saya memulai...dan telah menghasilkan beberapa buku kumpulan tulisan pendek. Selalu saya menulis cerita pendek mengenai orang-orang kelas bawah. Ada petani miskin, pedagang kecil, pegawai kecil, anak-anak yatim, orang yang kekurangan makan, orang buta dan penuntunnya. Itu ada alasan relijiusnya.

Rupanya hati saya itu diberkati dengan rasa simpati kepada orang-orang miskin. Nanti setelah berjalannya waktu, saya baru mendapatkan ayat suci yang mengatakan bahwa alamat tuhan berada pada kehidupan orang-orang miskin. Wah, itu saya terkejut sekali (saat menemukan ayat itu).

Jadi, dengan menulis cerita pendek, saya sebetulnya sedang mewartakan kepada pembaca bahwa si miskin-miskin itu mengusung alamat Tuhan. Ini menarik sekali. Juga ada satu artikel yang berjudul Mas Mantri Menjenguk Tuhan.

Ceritanya begini: pada suatu hari Lebaran, Mas Mantri diajak sholat. Dia tidak bisa ikut sholat karena tetangganya yang sedang sakit dan dia katakan, “Saya akan menjenguk Tuhan. Kamu perlilah sholat, saya akan menjenguk Tuhan.”

Dia lalu pergi mengurus tetangganya yang sakit.

Cerita itu sangat-sangat relijius.

Cuman, saya juga mendapat kesulitan ketika menulis Ronggeng Dukuh Paruk.

Kesulitan itu di mana?

Saya hidup di tengah keluarga kyai. Sementara Ronggeng Dukuh Paruk itu yang namanya zinah sudah biasa. Jadi, keluarga saya kasihan. Mereka ditegur oleh orang-orang yang kritis. “Kok anakmu menulis novel kaya’ gitu.”

Karena dulu kan dibuat berseri di harian Kompas.

Bapak saya cukup demokratis pada saya. Jadi dia sampaikan, “Saya dapat pertanyaan-pertanyaan begini...kamu gimana jadinya?” Saya bilang, “Panggil saja Pak orangnya yang nanya-nanya itu.”

Betul, suatu saat ketemulah orangnya. Bapak saya bilang ke dia, “Coba ulangi pertanyaannya.”

Dia bilang, “Kamu kan anak Kyai Madiryat [Mohammad Diryat], itu kan tokoh NU, Kyai. Kok ya kamu nulisnya ronggeng-ronggeng kaya’ gitu. Ada buka kelambu segala itu.”

Saya bilang, “Nanti dulu. Kamu betul NU?”

“Iya, saya.”

“Kamu suka tahlilan?”

“Iya, suka tahlilan.”

“Ingat-ingat ya, kalau tahlilan selalu ada ayat yang berbunyi begini: kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Betul itu ayat? Ayat Kursi? Betul?”

“Iya betul.”

“Pahami dengan hati-hati kalimat ini: apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi milik Allah. Ronggeng di mana? Ronggeng itu di bumi. Jadi milik Allah. Kalau kamu mengimani bahwa dia di luar kepemilikan Allah, kafir kamu. Berani?”

Bingung dia jadinya. Tapi rupanya dia tidak mampu mencerna. Jadi saya bantu: “Begini, milik Allah itu kasarnya ada dua, yang baik dan yang buruk. Kalau kepada yang baik itu, kita ambil sikat positif. Misalnya kepada ulama, guru, dokter...Kita suka sama mereka. Hati saya condong pada mereka. Itu orang-orang baik. Tapi pada koruptor, maling yang juga milik Allah, kita harus menjauh. Sama-sama milik Allah tapi pendekatannya berbeda.”

Menarik penjelasannya. Tadi juga ada pernyataan Anda yang ingin saya tanyakan soal alamat Tuhan itu di orang-orang miskin. Maksudnya apa?

Sebetulnya itu kan [maknanya] mendalam. Jadi begini. Di dalam ayat atau hadis qudsi, jadi riwayat suci tapi yang langsung kepada Muhammad dan Muhammad langsung dari Tuhan, itu diriwayatkan bahwa ada penghuni neraka, menuntut Tuhan: Tuhan kenapa aku Engkau masukkan ke neraka? Tuhan menjawab rinci sekali. Kau aku masukkan ke neraka karena kau tidak menjenguk ketika Aku sakit.

“Hei, bagaimana Tuhan sakit?’

Kepengen tahu bagaimana Tuhan sakit? Tetanggamu yang sakit dan kamu tidak menjenguknya. Jadi kamu masuk neraka sekarang.”

Lalu, tetangga itu ditafsirkan luas menjadi mungkin tetangga perorangan, mungkin masyarakat, mungkin kaum tertindas, terpinggirkan. Itu juga. Dan kita harus berpihak pada mereka.

Setia mengangkat alam desa (Foto: P. Hasudungan Sirait/Parboaboa)

Barulah yang bertanya ini puas dan menjadi yakin bahwa saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk itu bukan hal yang main-main. Apalagi kalau kalian teliti bahwa novel ini dimulai dengan Dukuh Paruk yang gila. Kalau tetangga mau meniduri ini, begini...[Ahmad Tohari mendorong sebelah sandalnya sebagai ilustrasi]. Artinya, oh ini istri yang sedang ditiduri tetangga. Saya tahu sandal siapa. Saya buru nih ke rumah yang punya sandal. Ini di Ronggeng Dukuh Paruk. Artinya, sangat jahiliyah.

Tapi di ujung cerita Ronggeng Dukuh Paruk, iman masuk ke sana. Ketika Rasus mengatakan: Dukuh Paruk akan saya bawa bertata krama kepada Sang Wujud yang serba tanpa batas. Ini kalimat terakhir Ronggeng Dukuh Paruk.

Wujud yang tanpa batas itu super extension: Tuhan sendiri. Maha Wujud, Maha Ada. Jadi, iman yang sangat menukik itu. Nah, di kalimat umat Islam itu namanya dikutip Kartini: Dari Gelap Menjadi Terang. Jadi, habis gelap terbitlah terang. Di dalam pelajaran agama Islam, agama itu adalah proses. Setiap detik dari gelap menjadi terang.

Ronggeng Dukuh Paruk novel reliji?

Amat, sangat. Tapi itu juga terbaca oleh seorang pengamat sastra, anak Bandung, dia redaktur harian Pikiran Rakyat...Pada Kongres Sastra di Singapura, dia menyatakan bahwa ini sebuah novel dakwah. Dia menyatakan itu di Singapura lho, bukan di sini.

Saya pikir, wah, tertangkap juga ini. Saya sembunyikan ternyata tertangkap juga. Tapi itu jauh belakangan hari.

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS