PARBOABOA, Pematang Siantar - Berbagai sampah yang dihasilkan masyarakat di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara masih terbilang tinggi.
Menurut data di Dinas Lingkungan Hidup Pematang Siantar, masyarakat di kota itu sedikitnya menghasilkan 2 hingga 3 ton sampah setiap hari. Dari jumlah itu, 1,8 ton di antaranya merupakan sampah makanan.
Jika dirinci lagi, dari 1,8 ton itu, sebanyak 1,2 ton merupakan sampah makanan rumah tangga dan 600 kilogram sisanya merupakan sampah organik.
Menurut Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3) di Dinas Lingkungan Hidup, Manotar Ambarita, Pemko Pematang Siantar berkomitmen menekan tingginya angka produksi sampah makanan yang dihasilkan masyarakat.
"Masih di angka 60 hingga 61 persen (dari total sampah) merupakan sisa makanan yang terbuang, dan upaya kita untuk tahun depan akan di angka 45 persen," katanya saat dikonfirmasi PARBOABOA, Kamis (28/9/2023).
Upaya yang dilakukan, kata Ambarita, mengadakan pelatihan terkait pengelolaan kompos di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) sampah di Kelurahan Tanjung Pinggir, Kecamatan Siantar Martoba.
"Program-program seperti budidaya maggot, pembuatan briket arang, serta pemanfaatan eco-enzyme, yaitu pengolahan limbah organik menjadi pupuk akan kita tingkatkan," ungkapnya.
Selain Dinas Lingkungan Hidup, upaya lain pengelolaan sampah juga dilakukan oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Pematang Siantar.
Kepala Bidang Pariwisata di Disporabudpar Pematang Siantar, Rahmat Riadi juga meminta masyarakat dan pelaku usaha perhotelan, restoran hingga warung usaha untuk disiplin meminimalisir produksi sampah, khususnya sisa makanan.
Saat ini terdapat 13 usaha kuliner dan wisata prioritas serta 30 hotel yang terdaftar di kota Pematang Siantar.
"Kita tetap sosialisasikan kepada semua hotel dan pelaku usaha untuk tetap menjaga kualitas pelayanan kepada tamu dan menjaga lingkungan," ujarnya kepada PARBOABOA, Kamis (28/9/2023).
Rahmat mengatakan, tumpukan sampah sisa makanan yang berlebih dan tak segera terbuang akan memicu aroma tak sedap dan mempengaruhi lingkungan sekitar.
"Lama-lama dikhawatirkan mempengaruhi citra Kota Pematang Siantar juga, kita tidak akan tutup mata akan hal ini dengan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup," imbuhnya.
Respons Pengamat Lingkungan
Akademisi bidang Filsafat dan Etika Lingkungan dari Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta, Frederikus Fios, mengingatkan pemerintah daerah khususnya di Kota Pematang Siantar untuk melakukan mitigasi terhadap bencana dan bahaya yang muncul akibat sampah makanan ini.
Fios juga mengingatkan perlunya edukasi dan sosialisasi untuk seluruh pihak, seperti masyarakat, industri dan semua elemen sosial untuk mengetahui bahaya sampah makanan dan melakukan tindakan pengelolaan sampah makanan dengan cara-cara yang strategis dan inovatif.
"Terutama jika ada pengembangan industri atau regulasi khusus yang mengelola sampah makanan ini agar meningkatkan partisipasi aktif masyarakat yang merupakan kunci meminimalisir sampah makanan," jelasnya kepada PARBOABOA, Kamis (28/9/2023).
Tingginya produksi sampah makanan, lanjut Fios, juga akan berdampak pada perubahan iklim yang tidak menentu dan risiko bencana alam akan meningkat drastis. Imbasnya, pertanian bisa terancam gagal panen dan memicu bencana kelaparan.
"Perilaku ini diakibatkan atas proses atau tindakan yang tidak sesuai dengan pengolahan pangan yang buruk, sehingga sebagai bentuk tantangan yang nyata untuk mengatasi kelaparan," imbuhnya.
Data Badan Pangan Dunia (FAO) pada tahun 2019 menyatakan dengan populasi Indonesia sekitar 250 juta penduduk, kebutuhan makanan sekitar 190 juta metrik ton dan total makanan yang terbuang 13 juta metrik ton.
Artinya, kata Fios, makanan yang terbuang bisa memberi makan hampir 11 persen populasi Indonesia atau sekitar 28 juta penduduk setiap tahunnya.
"Angka yang hampir sama dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang masih mengalami kelaparan sebagai penyebab utamanya terhadap masalah ekonomi," timpalnya.
Sementara faktor penyebab mayoritas kota-kota besar di Indonesia, termasuk kota kecil seperti Pematang Siantar memproduksi sampah organik yang merupakan jenis sampah makanan dalam jumlah lebih besar ketimbang jenis sampah lainnya, disebabkan karena pola hidup konsumsi masyarakat kota yang tinggi.
"Dampaknya tentu berakibat buruk bagi kesehatan manusia dan juga keberlanjutan masa depan lingkungan hidup yang lebih baik dan ideal," ungkap Fios.
Kekhawatiran lainnya yaitu proses pembusukan sampah organik dengan konsentrasi sampah non-organik yang tinggi akan melepaskan gas metana atau CH4 yang disinyalir 25 kali lebih berbahaya dari karbon dioksida.
Apalagi, industri pertanian buah dan sayuran juga menghasilkan banyak jumlah pestisida sintesis, pupuk dan bahan kimia lain yang tidak mampu dinetralisir oleh alam dalam waktu singkat.
"Sederhananya sampah makanan juga akan memberikan dampak jejak karbon dari makanan yang kita konsumsi," imbuh Frederikus Fios.
Editor: Kurniati