PARBOABOA, Medan – Isu pemakzulan presiden Joko Widodo sudah dimulai sejak awal tahun 2024. Banyak pro dan kontra yang beredar akan isu tersebut. Walau begitu, perlu dipahami bahwa pemakzulan kepada presiden memang sudah diatur dalam UUD 1945. Tepatnya, pemakzulan diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Isi dari pasal tersebut adalah “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Isu pemakzulan kini kembali bergulir dengan adanya dugaan kuat terjadi kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Namun, apakah pemakzulan atas presiden Joko Widodo benar-benar akan terjadi?
Pengamat Politik Sumatera Utara, Dr. Warjio SS, MA mengaku pesimis pemakzulan presiden Joko Widodo dapat dilakukan. Menurutnya, hal ini dikarenakan sampai saat ini tidak ada dukungan yang lebih luas untuk memakzulkan.
Kepada PARBOABOA, Selasa (12/03/2024), Warjio memaparkan kondisi perpolitikan Indonesia saat ini tidak positif. Artinya, dugaan pelanggaran sebenarnya sudah diketahui bahkan diyakini oleh semua kalangan masyarakat. Akan tetapi, masih banyak lembaga, komunitas, institusi bahkan pihak perguruan tinggi yang enggan atau takut bersuara.
“Saat ini tidak ada dukungan yang lebih luas untuk memakzulkan presiden Joko Widodo. Karena masyarakat yang tadinya kritis sekarang ada yang ambil bagian dari kekuasaan, ada juga yang takut kena pasal-pasal,” ucap Warjio.
Menurutnya, banyak pihak yang tidak lagi mengedepankan etika dan moral politik yang semakin hari semakin menurun. Kekuasaan dianggap lebih memberi kesempatan. Selain itu, daya gedor oposisi juga dinilai sudah lemah. Oposisi diperkirakannya akan masuk pada kekuasaan.
Beberapa persoalan yang semakin memperkuat lemahnya oposisi adalah beberapa Undang-Undang yang lolos dengan mudah di DPR seperti Undang-Undang Perburuhan, Undang-Undang Kesetaraan dan banyak lagi.
Warjio mengungkapkan, salah satu penghalang untuk berkomentar atau memberikan pandangan yang berbeda dengan kekuasaan saat ini adalah Undang-Undang ITE. Belum lagi untuk media sosial, serangan buzzer pemerintah yang luar biasa.
Warjio mengatakan pada reformasi 98, dimana ada tokoh-tokoh oposisi yang kuat seperti Amien Rais pada waktu itu dan banyak lagi. Belum lagi perguruan tinggi dan mahasiswa yang kritis dan berani untuk berjuang demi Indonesia.
Sekarang ini, menurutnya tidak ada lagi tokoh yang mampu menggiring politik Indonesia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sekarang. Sedangkan, lembaga atau institusi lainnya juga mengalami penurunan, seperti media yang saat ini dinilai kurang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
“Dalam konteks demokrasi, politik kita saat ini ada di posisi back sliding democracy yang artinya meluncur ke bawah,” katanya.
Mengapa terjadi black sliding democracy, Warjio mengungkapkan, karena daya gedor oposisi, mahasiswa, perguruan tinggi bahkan media yang saat ini semakin melemah. Mahasiswa misalnya, saat ini tidak dibentuk dalam suasana yang kritikal dialektika dan pemikiran itu tidak menjadi bagian dari pergerakan mahasiswa.
Selain itu, media juga dianggap semakin melemah karena selain para pemilik bisnis media juga bergabung dalam kekuasaan, ada UU ITE yang dikhawatirkan akan melemahkan media yang kritis.
Hal senada diungkapkan akademisi Sumatera Utara, Reviza Putra. Menurutnya, mahasiswa saat ini sudah dicekoki dengan budaya kebarat-baratan yang cenderung hedon (foya-foya) daripada empati.
Ia mengatakan, banyak mahasiswa saat ini selain berpatokan pada budaya yang tidak dari Indonesia tapi juga dibentuk seperti mahasiswa industri. Yaitu, mahasiswa yang hanya memfokuskan diri untuk menjadi apa kedepannya, bukan lagi mahasiswa kritis yang protes terhadap kebijakan yang tidak membela masyarakat.
“Fokus mahasiswa saat ini akan jadi apa setelah tamat, PNS, pegawai swasta di perusahaan bonafid, atau istri pejabat. Karena apa? Karena industri media cenderung mengarahkan bahwa sukses itu ya kayak artis2 yang banyak uangnya tapi ga tau dari mana asalnya itu. Padahal banyak tokoh pendiri bangsa yang bisa jadi panutan seperti Soekarno dan Mohammad Hatta,” paparnya.
Situasi politik saat ini di Indonesia, khususnya Sumatera Utara dinilai semakin pelik dan sulit bagi masyarakat. Mulai dari naiknya pajak menjadi 12 persen hingga hal-hal etika dan moral yang semakin hari dirasa semakin tak pantas.
“Tak pantas, tapi tetap saja tidak ada yang berani bersuara. Karena kalau ga mereka adalah bagian dari kekuasaan ya mereka akan jadi korban kekuasaan,” tandasnya.
Editor: Fika