Napak Tilas Blora bersama Pramoedya Ananta Toer
PARBOABOA - Rabu 10 Desember 2003, pagi menjelang. Mata masih berat tapi kami harus bangun sebab tugas berat dan paling menentukan menunggu. Di hati kami membesar harapan bahwa Pram akan sudi kami ajak napak tilas melongok tempat-tempat bersejarah bagi dirinya.
Pak Coes ternyata sudah membeli serabi. Masih hangat penganan itu. Waktu ia sajikan. Aku menyiapkan kopi, teh, dan roti untuk kami semua. Saat sarapan ujug-ujug Pram bercerita soal masa lalunya di Blora. Wah, kebetulan. Nyambung betul dengan rencana kami. Semesta mendukungkah?
Pak Coes kemudian mengingatkan bahwa ini hari kota Blora ulang tahun. Kebetulan lagi ini! Aku langsung ngomong ke Pram ihwal rencana kami hari ini. Tanpa dinyana ia menyambut dengan antusias. Girang betul kami.
Pram minta waktu ke ladang dulu bakar-bakar sampah. Sungguh kegiatan yang tak bisa ia lupakan di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Kami bilang ‘silakan’. Kami sendiri lekas bersiap setelah berbagi tugas. Mandi dan menyiapkan peralatan. Rhein dan Amang lantas mencari becak.
Pram masih asyik mengurusi sampah saat becak datang. Ia malah masih minta minyak tanah walau tukang becak sudah lama menunggu. Aku bertugas membujuk dia agar lekas berkemas. Aku sadar tak perlu mendesak dia sebab akan percuma saja.
Kami akhirnya menunggu sampai ia beres mengurusi runtah. Pak Coes menyiapkan perlengkapan mandi, pakaian, topi, dan tongkat sang kakak. Tak jelas apakah Pram mandi dulu; yang pasti ketika ia selesai potongannya sudah seperti orang yang mau ke kondangan. Berbatik, berpantalon hitam, dan bertopi pet putih. Rambutnya yang sudah tinggal sedikit ia minyaki dan rapikan dengan jari.
Tiga becak yang kami sewa bergerak beriringan. Aku dan Pram satu becak. Has dengan Pak Coes; Rhein dengan Amang. Yang pertama kami tuju adalah Kali Lusi, tempat Pram dan ibunya membeli padi dari para petani yang baru panen. Persis di jembatan kami berhenti dan turun. Dia menatap penuh intensi ke sana-sini. Sejenak ia seperti hanyut dalam masa lampau. Setelah memberi penjelasan pendek ia mengisyaratkan untuk lanjut.
Ke rumah kelahiran Pram kami selanjutnya. Di tengah perjalanan ia minta berhenti. Ia menunjuk ke ujung sebuah jembatan. Ia bilang tujuh orang pernah mati sekaligus saat hendak menebang pohon besar yang tegak di sana. Mereka ditimpa pohon besar. Kejadian itu, kata dia, waktu dirinya masih kanak-kanak.
Sampailah kami di rumah yang, kata Pram, tempat ia dilahirkan.
“Dulu rumah ini bersebelahan dengan Toko Ijo, toko yang dulu terkenal paling lengkap di Jetis ini,” ucap Pram.
Di toko ini, lanjut dia, dulu ada seorang dara Tionghoa cantik. Menurut penilaian dia kala itu orang tersebut merupakan perempuan tercantik yang pernah dia lihat. Tak lama kami di sana. Pasalnya keadaan rumah, menurut Pram, sudah jauh berbeda.
Perjalanan kami teruskan ke SMPN 5. Sekolah di Jl. Halmahera ini dulu merupakan lokasi Instituut Boedi Oetomo (IBO) yang didirikan Mas Toer. Seturun dari becak Pram langsung melangkah ke prasasti yang persis di luar pagar sekolah. Ia mengomentari foto Mas Toer Imam Badjuri dan tulisan di bawahnya. Pak Coes menimpali. Kedua bersaudara tak setuju terhadap tulisan ‘tutwuri handayani’ yang tertera di sana.
Pram bilang tak usah kami masuk sekolah. Kami bertanya mengapa. Ia menyatakan sekolah ayahnya itu telah dikuasai secara sepihak oleh pemerintah. Sembari menunjuk-nunjuk bangunan sekolah ia menyoal. Ia menyatakan kayu jati tua yang menjadi kerangka sekolah telah diganti oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Persisnya, kata dia, ditilap. Geram dia saat itu. Air mukanya tampak betul keruh.
Ternyata kedatangan kami yang tiba-tiba mengundang perhatian. Dari kejauhan tampak seorang guru bergegas menghampiri kami.
“Apa kabar Pak Pram… sehat,” ucap lelaki muda bertubuh tinggi besar sembari menjabat tangan Pram. Ternyata guru Bahasa dan Sastra Indonesia dia.
“Saya pengagum Bapak… sudah baca beberapa karya Bapak. Selamat datang di sekolah kami,” tutur dia bersemangat.
Pram menyahut akrab. Kami semua berkenalan dengan sang guru. Seketika ia menjadi tuan rumah yang ramah bagi kami.
Beberapa guru lelaki dan perempuan datang menyalami Pram. “Pak Pram ya…” itu ucapan standar dari setiap orang menyongsong.
Kami bertanya dari mana mereka tahu bahwa orangtua itu Pram. Wajah novelis terkemuka ternyata akrab bagi mereka. Itu kata mereka.
Para siswa berhamburan untuk melihat tamu datang. Kami melihat mereka muncul dari mana-mana dan menonton kami. Lantas terdengar pengumuman lewat toa yang diulang-ulang, murid segera kembali ke kelas masing-masing.
Kepala sekolah menyempatkan diri juga menemui Pram. Setelah tahu dengan siapa dia bicara Pram langsung memberondong dengan pertanyaan. Intinya ke mana kayu jati lama itu dan kalau sudah dijual siapa saja yang menikmati hasilnya.
Kepala sekolah gelagapan mendengar pertanyaan menggugat yang kemungkinan tak ia duga tersebut. Lekas ia minta diri. Kami yang menjadi pendengar percakapan mereka menjadi merasa kagok.
Sepeninggal kepala sekolah Pram berujar ke kami bahwa gugatan itu harus ia utarakan. Bagaimanapun, menurut dia, sang kepala sekolah adalah otoritas yang pasti tahu duduk masalah kayu hilang.
Setelah pamit, beranjak kami dari sekolah. Pram setuju: kami akan naik becak ke lokasi pohon jarak di mana dulu dia merasa terhina oleh perkataan ayahnya. Ia dibilang bodoh dan disuruh mengulang di kelas 6 SD kendati sudah lulus.
Kuburan yang ditumbuhi pohon jarak kami tuju. Sesampai di sana Pram terhenyak. Pasalnya kuburan sudah tak ada berganti dengan perumahan.“Kok jadi begini…” ucap dia.
Sembari beberapa kali menyeka air mata ia menceritakan kembali kisah pedih dari zaman kanak-kanak itu. Gaya dia bercerita seakan peristiwa itu barusan saja. Larut ia dalam kesedihan. Kami menyimak penuh haru. Tak ada yang lain yang patut kami lakukan.
Bersambung...
Reporter: Rin Hindryati dan Hasudungan Sirait
Editor: Rin Hindrayati