Napak Tilas Blora bersama Pramoedya Ananta Toer (Bagian 4)
PARBOABOA - Wawancara mulai. Kami tegaskan berbahasa Indonesia saja kita karena khalayak pembaca dan penontonnya nanti orang kita.
Awalnya Pak Walujadi bertutur normal. Fasih dia menceritakan ihwal dirinya. Tapi setelah lewat sepuluh menit ia mulai ngawur. Bahasanya pun bercampur. Inggris, Belanda, Arab masuk.
Kami sadar sebagai narasumber ia terlalu berharga untuk dilewatkan. Sebab itu kami bersabar. Sekitar 1,5 jam kami menggali informasi dari dia. Ngawurnya lebih banyak, sampai sekitar 80%. Tak apalah toh sisanya sangat bernilai, demikian prinsip kami.
Seusai mengambil gambar dengan pelbagai pose yang diatur, kami minta diri. Sekian lama menjadi wartawan, bagi aku dan Has ini termasuk sesi wawancara paling unik. Setahuku, mewawancarai seorang narasumber dengan kondisi mental seperti Pak Walujadi tidaklah diharamkan oleh kode etik jurnalistik.
Kami menceritakan proses wawancara ini ke Pram dan Pak Coes. Keduanya tergelak-gelak. “Kalian ada-ada aja,” kata Pram.
Ia kemudian berkisah ihwal adik yang urutannya persis di bawahnya tersebut. Terutama kisah bagaimana sang penerjemah sampai terganggu jiwanya. Tuturan Pram ini pada dasarnya setala dengan cerita diri oleh Pak Walujadi sendiri.
Narasumber berikutnya adalah si bungsu Pak Coes. Dalaman rumah ini menurut kami eksotik. Ke sana Pak Coes kami ajak setelah minta izin ke Pak Walujadi. Yang terakhir ini kemudian menyingkir masuk kamar. Setting kami siapkan. Kecuali pencahayaan yang kurang, semuanya baik.
Percakapan dengan Pak Coes lancar betul. Ia memang orang yang senang ngomong. Apa pun pertanyaan kami akan ia jawab sepenuh hati. Pengetahuannya luas sehingga jawabannya bisa berpanjang-panjang kalau saja tak kami rem. Berbicara apa adanya, itu ciri dia. Beruntung kami punya narasumber seperti doktor ekonomi lulusan Rusia ini.
Sudah siang rupanya; pantas perut kami mulai bergolak. Di luar hujan masih deras. Kami putuskan untuk menggodok mi instan saja di rumah sebelah tempat Pram dan Pak Coes tinggal.
Saat bersantap bersama Pram bertanya apa saja yang kami percakapkan dengan Pak Coes. Kembali Pak Coes nyerocos. Kami perhatikan: kalau ada kami dia berbicara tanpa beban mental di depan Pram. Sangat lain halnya kalau hanya mereka berdua saja bermuka-muka.
Ke kami Pak Coes mengatakan dirinya tetap saja merasa seperti adik kecil kalau di hadapan Pram. Tak berani dia membantah. Sama seperti di zaman Tanah Abang Kober baheula. Lucu juga ya… padahal keduanya sudah sama-sama tak muda lagi.
Selepas makan, wawancara dengan Pak Coes kami sambung. Ingatannya kuat dan pengetahuannya ihwal keluarga Toer kaya. Ia menyimpan banyak rahasia keluarga ini. Ke kami beberapa ia kuak dengan catatan jangan diwartakan. Kami menyanggupi. Wawancara yang serba lancar ini berlangsung hingga petang.
Mentari sudah condong ke barat dan tak laik lagi mengambil gambar di dalam ruangan yang hanya mengandalkan cahaya dari jendela. Kami akhiri kerja hari ini. Selanjutnya kami ngobrol santai dengan Pram sembari ngopi.
Usul Pak Coes: makan malam di warung dekat rumah saja. Masakannya bergaya rumahan, ujar dia. Kami setuju.
Pram kami tanya mau makanan apa. Ia tak mau nasi. “Mangga aja kalau ada,” katanya.
Kami berlima dengan Pak Coes berlari menembus hujan. Tak ada payung, saputangan atau kaos pun kami pakai untuk menutup kepala.
Warung itu bersahaja betul. Kecil, mejanya satu saja, dan lantainya tanah. Pak Coes kerap membeli di sana sehingga si empunya, perempuan berusia 50-an, akrab dengan dia.
Makanan disajikan. Enak juga. Mungkin juga karena sebelumnya perut kami hanya berisi mi instan dan kopi. Ibu itu periang dan akrab.
Saat kami bersantap spontan ia berkisah ihwal pelanggan yang barusan membeli dan membawa pulang makanan. Kami sempat melihat orang dimaksud.
Lelaki kurus tinggi dan berumur sekitar 60 tahun itu, menurut dia, seorang pelanggan tetap. Takluk sama istri, lelaki Tionghoa itu dalam keseharian berperan sebagai bapak rumah tangga yang harus mengurusi anak-bini. Sang istri menjatah uang makan dan uang belanja.
Untuk makan malam istrinya ia hanya boleh membelanjakan tak lebih dari Rp 1.800. Kalau benar cerita si ibu ya… malang sungguh lelaki tersebut. Pantas saja wajahnya jauh dari sumringah.
Tak ada mangga di sana. Kami akhirnya ke kota naik becak. Dua kilo mangga kami beli untuk Pram. Ke toko kelontong Cina kami selanjutnya. Kami membeli pisau, asbak, dan pelbagai kebutuhan dapur. Dari sana ke apotik membeli obat-obatan ringan. Pak Coes berkali-kali mengatakan ‘nggak usah repot-repot’. Tapi kami tetap membeli karena belanjaan itu semua pasti mereka perlukan.
Berjalan kaki kami pulang. Kami semua berharap Pram akan sudi menyantap mangga nanti. Sedang sulit ia makan. Menurut Pak Coes, itu sejak hari pertama ia tiba.
Sesampai di rumah Pak Coes mengupas mangga. Ternyata Pram mencicipi saja; ia kehilangan selera lagi. Kami berenam kemudian berbincang santai terutama tentang kota Blora dan karya Pram yang ber-setting-kan kota ini.
Pukul 21-00 kami permisi karena hendak ke luar. Tujuan utamanya mencari ATM. Pak Coes menawarkan diri sebagai pendamping. Kami bilang tak usah, kami saja. Malam itu udara dingin karena habis hujan panjang. Jalan utama kota kecil ini kami susuri. Konser kodok—suaranya semarak dan sungguh nyaring—menyambut tatkala kami tiba di kitaran klenteng Cina.
Dari tempat ATM kami ke tugu Garuda dan balik ke alun-alun untuk mencari kopi. Sembari menyeruput kopi-teh dan melahap roti bakar kami mematangkan agenda besok. Kami akan mengajak Pram napak tilas. Lokasi yang akan kami kunjungi termasuk Kali Lusi, rumah tempat lahir dia, sekolah yang didirikan Mas Toer, dan makam keluarga: Sasana Lalis di Kunden.
Sudah pukul 02.00 ketika kami beranjak dari Koplakan. Tak ada lagi becak dan kendaraan lain. Menapak lagi kami pulang ke Jl. Sumbawa 40 kendati badan sudah letih.
Bersambung...
Reporter: Rin Hindryati dan Hasudungan Sirait
Editor: Rin Hindrayati