PARBOABOA, Jakarta - Benang kusut persoalan pendidikan di Indonesia hingga kini belum juga terurai. Masalah tata kelola menjadi salah satu penyebab utama.
Efek lanjutnya, pendidikan bermutu, berbiaya murah serta berkeadilan yang merupakan hak seluruh warga negara semakin sulit dijangkau.
Kasus teranyar yang menyeret mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), setidaknya menjadi tanda buruknya tata kelola pendidikan di Indonesia.
Para mahasiswa pun ikut geram. Mereka menolak kebijakan kampus yang menjalin kerja sama dengan salah satu aplikasi pinjaman online (Pinjol) sebagai skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT).
Kebijakan ini ditolak karena memberatkan mahasiswa, bahkan, jika tetap dipaksakan akan banyak mahasiswa/i yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak mampu membayar cicilan pinjaman yang tinggi.
Problem ini rupanya mendapat sorotan dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI mengatakan, masalah biaya, seperti yang terjadi di ITB, merupakan persoalan pelik yang membuat pendidikan Indonesia berjalan di tempat.
Meskipun kata dia, UUD 1945 telah mengamanatkan seluruh warga berhak mendapatkan pendidikan berkualitas dan berkeadilan dari negara, tetapi implementasinya jauh panggang dari api.
"Nyatanya yang bisa kuliah hanya orang-orang kaya saja. Yang tidak punya ekonomi lebih pengen kuliah ya silahkan Anda berhubungan dengan pinjol dan potensi gagal bayarnya banyak sehingga rame di Kampus ITB "kata Ubaid dalam diskusi publik Bedah Gagasan Capres atas Akar Persoalan Pendidikan di Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Ironisnya kata Ubaid, setelah kejadian di ITB terungkap, ternyata banyak juga kampus ternama bekerja sama dengan pinjol dalam skema pembayaran UKT mahasiswa/i nya.
Kondisi ini, demikian ia menjelaskan menunjukkan bahwa negara telah melepas tanggung jawabnya memberikan pelayanan pendidikan berkeadilan kepada warga sesuai amanat UU.
Karena negara mengabaikan tanggung jawabnya, "pendidikan lalu dilepaskan kepada mekanisme pasar sehingga apa yang dikhawatirkan masyarakat terkait dengan liberalisasi pendidikan, komersialisasi pendidikan, itu sedang happening now."
Sementara itu, di level pendidikan dasar dan menengah masalah utamanya adalah tingginya angka putus sekolah di kalangan anak-anak usia sekolah di berbagai daerah.
Menurut Ubaid, fakta ini tak memberikan optimisme untuk menjemput Indonesia Emas di 2045 dimana kekuatan Indonesia bergantung sepenuhnya terhadap kualitas SDM.
Selain itu, keprihatinan atas masalah pendidikan Indonesia terkonfirmasi dari temuan Programme for International Student Assessment (PISA), yang menunjukkan skor terendah.
Indonesia masuk ke dalam 15 dengan dengan skor PISSA terendah dari 80 negara yang disurvei.
"Terendah dalam hal apa? Literasinya yang terendah, numerasinya yang terendah dalam soal sains juga terendah," kata Ubaid.
Bagaimana gagasan dan komitmen capres?
Ubaid mengutarakan, gagasan dan komitmen capres saat ini untuk mengurai masalah pendidikan di Indonesia juga tak terlalu menonjol. Menurutnya, tidak sulit menguji komitmen mereka jika mengacu pada trac rekord.
Ketiganya, baik pasangan 01, 02 maupun 03 sama-sama pernah menjadi aktor penentu arah pendidikan Indonesia. Di pasangan 01, kata Ubaid ada sosok Anies Baswedan yang pernah menjadi gubernur DKI Jakarta.
Namun selama Anies menjadi gubernur, kualitas pendidikan di Ibu Kota tidak menunjukkan tren positif ditengah anggaran pendidikannya yang terbesar dari semua daerah di Indonesia.
"Kita tahu provinsi DKI Jakarta adalah provinsi dengan anggaran terbesar seindonesia," tegas Ubaid.
"Tetapi apa yang bisa diperbuat oleh DKI Jakarta? Ternyata DKI Jakarta, pendidikan tingkat dasar itu menggondol sebagai provinsi dengan angka putus sekolah terbesar se indonesia," tambahnya.
Hal yang sama terjadi ketiga capres 03 Ganjar Pranowo menjadi gubernur Jawa Tengah dan cawapres 02, Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota Solo saat ini.
Di sana kata Ubauid tingkat literasi dan angka putus sekolah di juga tergolong sangat tinggi.
Bahkah, sejak tahun 2012 ketika pemerintah secara nasional menerapkan wajib belajar 12 tahun tidak ada progres di Jawa maupun di Solo untuk mengimplementasikan pendidikan bebas biaya sesuai amanat UU.
"Jadi sama yang terjadi adalah terjadi diskriminasi pendidikan bebas biaya. Di Solo terjadi, di Jawa Tengah terjadi di DKI jakarta juga terjadi."