PARBOABOA, Jakarta - Jumlah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 lalu, terdapat 19 juta penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional.
Sementara itu, 12 juta orang dengan periode usia yang sama disebutkan pernah mengalami depresi.
Jika dikalkulasikan dengan total penduduk Indonesia pada 2018 sebanyak 267,1 juta jiwa, maka terdapat sekitar 7,11 % penduduk yang terindikasi gangguan jiwa.
Pada tataran lokal, data Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat sebanyak 419 ODGJ di Kabupaten Sumba Timur sejak Januari hingga April 2024. Adapun 248 orang di antaranya telah terkonfirmasi dan mendapat asesmen dari tim kesehatan.
Berhadapan dengan fakta tersebut, Kemensos tengah menggencarkan pembangunan kebijakan yang bertujuan menurunkan angka ODGJ.
Salah satu langkah praktis yang dibuat adalah bekerja sama dengan tenaga kesehatan (nakes) untuk mengadakan advokasi dan penyembuhan terhadap ratusan ODGJ di Sumba Timur, Kamis (02/05/2024).
Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini mengaku kaget dengan besarnya jumlah ODGJ di Sumba Timur. Ia bahkan tak membayangkan jumlah mereka yang mencapai ratusan orang.
"Ternyata jumlah mereka cukup besar. Makanya, saya ajak tim kesehatan untuk membantu penanganan ini," ungkap Risma dalam keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA, Kamis (02/05/2024).
Selain melakukan pemeriksaan kesehatan, Kemensos bersama nakes juga menyerukan pembebasan praktik pasung yang masih dialami sejumlah ODGJ.
"Mereka bisa sembuh jika kesehatannya ditangani dengan baik. Bukan sebaliknya dipasung," ujar Risma.
Ia menerangkan bahwa praktik pasung, alih-alih bermaksud membatasi ruang gerak orang yang mengalami gangguan jiwa, tetapi justru menurunkan harkat mereka sebagai manusia.
Seruan untuk melawan praktik pasung sesungguhnya bukan hal baru di NTT. Komunitas Kasih Insani (KKI), misalnya telah sering melakukan edukasi terkait bahaya pasung.
Ketua KKI, Pater Avent Saur menyebutkan bahwa pasung bukanlah jalan keluar yang tepat untuk menghadapi ‘orang-orang dengan kebutuhan khusus’ seperti itu.
Sebagai pribadi yang menaruh perhatian khusus pada nasib ODGJ di NTT, Avent menilai, praktik pasung terjadi karena khawatir penderita gangguan jiwa akan melakukan perbuatan destruktif terhadap keluarga dan orang lain.
Namun demikian, ia juga memahami bahwa praktik keji ini sulit dihindari karena kurangnya fasilitas kesehatan jiwa di NTT.
Dari jumlah 22 rumah sakit umum, hanya ada dua rumah sakit yang menyediakan poliklinik kesehatan jiwa.
Fakta ini, lanjut Avent, menjadi salah satu penyebab lumrahnya praktik pasung di NTT. Orang yang mengalami gangguan jiwa akan mudah dipasung karena masyarakat tidak punya jalan lain untuk mengatur kesehatan mental mereka.
Sebagai informasi, kerja sama antara Kemensos dan nakes di Sumba Timur masih terus berjalan. Kemensos berencana untuk tetap berada di sana sampai proses asesmen 419 ODGJ selesai.
Langkah ini menjadi komitmen mereka untuk menyembuhkan ODGJ dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya pasung.
Apa itu ODGJ?
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah pribadi yang mengalami gangguan psikis sebagai akibat dari persoalan yang pernah dialami.
ODGJ juga diartikan sebagai seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan.
Bentuk-bentuk gangguan tersebut terungkap dalam perubahan perilaku yang menimbulkan penderitaan dan hambatan ketika menjalani aktivitas mereka sebagai manusia.
Adapun ODGJ disebabkan oleh sejumlah alasan, antara lain karena memiliki keluarga dengan riwayat gangguan jiwa, persoalan hidup pribadi, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.
Di samping itu, ODGJ dapat disebabkan karena paparan virus, racun, minuman keras, menderita penyakit kronis, dan konsumsi obat-obatan saat sedang dalam kandungan.
Hasil Riskesdas menemukan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia mencapai angka 0,17 %.
Riset ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia tergolong kategori penduduk yang rentan mengalami ODGJ.
Stigma negatif dan tanggapan miring terhadap keberadaan ODGJ menjadi hal yang dinilai memperparah aksesibilitas hidup mereka.
Resikonya, orang dengan penyakit seperti ini akan sulit diterima di tengah masyarakat. Mereka dianggap sebagai ‘kelompok lain’ atau bahkan musuh yang harus dijauhi.
Jika hal ini terus terjadi, maka kaum ODGJ akan tetap berada dalam situasi tertekan. Mereka sulit memperoleh kesembuhan dari sakit jiwa yang diderita..
Sebaliknya, jika keberadaan mereka diakui dan diperhatikan secara serius, maka ada kemungkinan bahwa mereka bisa memperoleh kesembuhan.