PARBOABOA, Jakarta - Kasus pembunuhan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang sering ditemui di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia 2020 melaporkan terdapat 372.965 kasus kejahatan yang terjadi. Dari total tersebut, 898 kasus tergolong sebagai bentuk kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan.
Angka kejahatan kembali mengalami peningkatan pada 2021, di mana terdapat sebanyak 927 kasus pembunuhan yang terjadi di Indonesia.
Belum lama ini, publik digegerkan dengan pembunuhan yang dilakukan seorang lelaki di Ciamis, Jawa Barat terhadap istrinya sendiri. Peristiwa ini terjadi pada Jumat (03/05/2024) sekitar pukul 07.30 WIB.
Lelaki bernama Tarsum (50) dilaporkan membunuh Yanti (40), lalu memutilasi dan menawarkan potongan tubuh istrinya kepada masyarakat sekitar.
Sebelum dibunuh, pelaku diketahui memukul korban menggunakan balok kayu dan mencekik lehernya.
Ketua RT setempat, Yoyo Taryo, menyebutkan tak mengetahui secara jelas alasan yang melatari pembunuhan tersebut. Saat kejadian berlangsung, dirinya sedang berada di luar wilayah.
Pelaku, demikian ia menjelaskan, merupakan pribadi yang bekerja sebagai penjual domba dan memiliki relasi yang baik dengan masyarakat.
Namun demikian, sebelum kasus terjadi, ia mendengar informasi bahwa pelaku sempat mencoba bunuh diri dengan cara menandukkan keningnya ke tembok rumah.
Kapolres Ciamis, AKBP Akmal menyebut, korban diduga dibunuh saat hendak pergi ke masjid untuk melakukan pengajian.
Ia sendiri belum mengetahui secara jelas berapa bagian tubuh korban yang dipotong sang suami.
"Belum diketahui bagian tubuh mana saja yang dimutilasi. Jasad sedang kita evakuasi untuk dilakukan autopsi oleh pihak rumah sakit," ujar Akmal di lokasi kejadian.
Dalam keterangan terpisah, Kasat Reskrim Polres Ciamis, AKP Joko Prihatin menyebut, pihaknya sedang mendalami motif di balik kejadian tersebut.
Dari hasil pemeriksaan beberapa saksi, Joko menduga bahwa pelaku dan istrinya sempat terlibat cekcok.
Percekcokan tersebut lahir sebagai imbas masalah ekonomi keluarga. Keterangan lain menyebutkan bahwa sebelum kasus terjadi, rumah pelaku kerap didatangi para penagih hutang.
Tiga hari sebelum kejadian, anak kedua mereka juga sempat dititipkan ke RT dan tetangga. Dari keterangan warga, pelaku diketahui hendak merantau ke Kalimantan.
Keterangan saksi menguatkan dugaan polisi bahwa percekcokan yang berakibat pembunuhan terjadi sebagai akibat dari persoalan ekonomi.
Pelaku terpaksa melakukan tindakan keji karena tidak lagi memiliki jalan keluar berhadapan dengan persoalan. Beban ekonomi keluarga menyulitkannya untuk berpikir secara dewasa dan bertanggung jawab.
Ia tak mampu mengolah persoalan dan mencari jalan keluar yang tepat. Konsekuensinya, ia berani mengambil jalan pintas dengan membunuh istrinya sendiri.
Tanggapan Pengamat
Hasil riset yang dilakukan oleh Peneliti Universitas Negeri Jakarta, Husnul Khotimah pada 2023 memperlihatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya kasus pembunuhan adalah tekanan dari pihak tertentu.
Baginya, orang dapat saja melakukan pembunuhan ketika mereka sedang berada dalam tekanan suatu pihak.
Dalam keadaan demikian, mereka merasa dipaksa atau diancam oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan, kekuatan, dan kendali atas hidup mereka.
Lebih lanjut, Pengamat Hukum dan Advokat, Edi Hardum menilai bahwa kasus yang menjerat Tarsum merupakan tindakan keji dan tergolong pidana.
Dalam konteks hukum di Indonesia, demikian ia menjelaskan, tindakan tersebut perlu dibaca dalam paradigma 'trias tindak pidana'.
Menurutnya, istilah ini merujuk pada tiga masalah pokok pidana, yakni 'tindak pidana', ‘pertanggungjawaban pidana', dan 'pidana atau pemidanaan'.
"Tindakan ini tergolong perbuatan pidana karena pelaku membunuh dan membagi-bagikan potongan tubuh istrinya ke tetangga," ungkap Edi kepada PARBOABOA, Senin (06/05/2024).
Baginya, pelaku yang terjerat tindak pidana wajib membuat pertanggungjawaban pidana. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan terkait latar belakang dan misi di balik tindakan tersebut.
"Pertanggungjawaban pidana dikenakan kepada mereka yang telah melek hukum dan berusia 18 tahun ke atas," ujar Edi.
Di Indonesia, tindakan pembunuhan atau perampasan nyawa orang akan dikenakan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan jerat hukuman penjara selama lima belas tahun.
Sementara itu, jika pembunuhan melibatkan perencanaan atau persiapan sebelumnya, maka pelaku akan dijerat ketentuan Pasal 340 KUHP dengan hukuman penjara selama dua puluh tahun atau bahkan seumur hidup
Namun demikian, tegas Edi, pengecualiannya terletak pada mereka yang masih tergolong anak-anak dan penderita gangguan jiwa (orang gila). Untuk kategori ini, mereka tidak dapat memperoleh sanksi pidana.
"Pelaku tidak bisa diberi sanksi hukum kalau umurnya di bawah 17 tahun dan terindikasi gangguan jiwa. Pengecualiannya di situ," ujarnya.
Edi mengharapkan agar pihak kesehatan dapat segera melakukan pengecekan kejiwaan terhadap pelaku agar proses penyidikan dapat beroleh jawaban yang jelas.
Editor: Defri Ngo