PARBOABOA, Jakarta - Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kembali menebar teror di Papua. Kali ini, mereka menyerang tenaga pendidik dan medis di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, pada Jumat (21/3/2025). Aksi brutal ini menewaskan seorang guru dan melukai beberapa korban lainnya.
Kepala Operasi Damai Cartenz 2025, Brigjen Faizal Ramadhani, mengonfirmasi bahwa korban tewas adalah Rosalina Rerek Sogen. “Selain satu korban meninggal, ada empat korban luka ringan, tiga mengalami luka berat, dan dua lainnya selamat,” ujarnya dalam pernyataan tertulis pada Senin (24/3/2025).
Tim gabungan segera mengevakuasi delapan korban ke RSAD Marthen Indey di Jayapura. Namun, dua orang memilih tetap tinggal di lokasi, yakni seorang guru bernama Lenike Saban dan seorang petani lokal bernama Erens, yang merasa cukup aman.
Proses evakuasi para korban tidak berjalan mudah. Tim Satgas Operasi Damai Cartenz-2025 bersama Polda Papua harus menghadapi medan yang sulit, karena satu-satunya akses ke lokasi hanya melalui jalur udara.
“Meski menghadapi tantangan besar, kami berhasil mengevakuasi seluruh korban ke Jayapura dengan selamat,” ujar Brigjen Faizal.
Evakuasi korban dari wilayah konflik seperti ini menjadi salah satu tantangan besar aparat keamanan dan tenaga kemanusiaan.
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri dan keamanan dari ancaman kekerasan. Hal ini menegaskan pentingnya perlindungan bagi warga sipil yang bertugas di daerah rawan konflik.
Guru dan Nakes Murni Warga Sipil
Bupati Yahukimo, Didimus Yahuli, mengecam serangan ini sebagai tragedi yang belum pernah terjadi sejak Injil masuk ke daerah tersebut 64 tahun lalu.
“Kami selalu hidup dalam ketenangan. Kali ini, seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan gereja benar-benar terkejut,” ungkapnya.
Ia juga membantah klaim bahwa guru dan tenaga kesehatan yang diserang adalah anggota TNI atau Polri yang menyamar. “Mereka direkrut secara transparan sejak 2021 dengan syarat utama beragama Kristen dan siap menjadi guru misionaris,” tegasnya.
Didimus menekankan bahwa proses seleksi tenaga pendidik dan medis dilakukan secara ketat. Para guru dan tenaga medis harus memiliki latar belakang pendidikan yang jelas dan menjalani doa pemberkatan oleh pendeta sebelum berangkat ke Yahukimo.
“Kalau ada yang menuduh mereka anggota TNI-Polri, silakan buktikan. Jika benar, saya siap mundur dari jabatan,” tantangnya.
Upayakan Pemulangan Jenazah
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, turut mengutuk aksi kekerasan ini. Ia merasa prihatin karena salah satu korban tewas berasal dari NTT.
“Saya sangat mengecam tindakan brutal ini, terutama karena korban adalah tenaga pendidik dan medis yang mengabdi di Papua,” ujarnya di Kupang, Senin (24/3/2025).
Saat ini, pihaknya tengah berkoordinasi dengan berbagai otoritas di Papua untuk mempercepat pemulangan jenazah ke NTT. “Kami berupaya sebaik mungkin agar proses pemulangan segera dilakukan,” tambahnya.
Selain itu, Gubernur Melki memastikan bahwa pihaknya terus berkomunikasi dengan tokoh masyarakat dan aparat keamanan untuk menjamin keselamatan warga NTT yang masih bertugas di Papua. Keamanan tenaga kemanusiaan ini sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan hukum yang adil.
Masyarakat Sipil Harus Dilindungi
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, turut menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban dan menyesalkan insiden ini.
“Kami telah berkoordinasi dengan Pemprov NTT dan otoritas Papua Pegunungan untuk memastikan penanganan terbaik bagi para korban,” ujarnya, Senin (24/3/2025).
Pigai menekankan bahwa perlindungan bagi masyarakat sipil di daerah rawan konflik harus menjadi prioritas pemerintah. “Kejadian seperti ini tidak boleh terulang. Warga sipil harus dijamin keamanannya,” tegasnya.
Pernyataan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak hidup aman dan terlindungi dari ancaman kekerasan.
Kasus ini kembali menyoroti risiko tinggi yang dihadapi tenaga pendidik dan medis di Papua. Sebagai pelayan masyarakat, mereka seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal.
Tindakan kekerasan terhadap tenaga pendidik dan medis tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum, profesi, dan keamanan selama menjalankan tugasnya.
Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk memastikan keamanan tenaga kemanusiaan di daerah konflik. Salah satunya adalah memperkuat koordinasi antara aparat keamanan, pemerintah daerah, dan komunitas setempat guna mencegah terulangnya kejadian serupa.
Tragedi di Yahukimo ini menjadi pengingat bahwa kekerasan terhadap tenaga sipil tidak bisa dibiarkan. Negara harus hadir untuk melindungi mereka yang mengabdikan diri demi kemajuan masyarakat, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan rawan konflik.