Industri FnB di Ambang Krisis, PHK Massal dan Penutupan Gerai

Krisis Industri FnB PHK Massal dan Penutupan Gerai. (Foto:PARBOABOA/Calvin)

PARBOABOA, Jakarta - Gelombang kerugian yang menghantam industri food and baverage (FnB) di Indonesia semakin mencuri perhatian publik.

Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah perusahaan besar harus mengambil langkah ekstrim, dengan menutup gerai, dan memutus hubungan kerja ribuan karyawan.

Sebagai gambaran, KFC Indonesia mencatat kerugian fantastis sebesar Rp 558,7 miliar pada kuartal ketiga 2024.

Langkah penutupan puluhan gerai diikuti oleh ribuan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.

Tak berhenti di situ, Pizza Hut Indonesia juga mengumumkan kerugian senilai Rp 96,7 miliar pada periode yang sama.

Imbasnya, 20 gerai mereka ditutup, dan sebanyak 371 karyawan terkena PHK.

Menurut Wijayanto Samirin, seorang ekonom dari Universitas Paramadina, penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor utama di balik kerugian sektor FnB.

“Penurunan ini terlihat dari berbagai indikator, mulai dari penjualan elektronik, kendaraan bermotor, pulsa, hingga makanan,” jelasnya.

Data menunjukkan bahwa masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan pendapatannya, terutama untuk kebutuhan sekunder seperti makanan cepat saji.

Senada dengan itu, Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menambahkan bahwa disposable income atau pendapatan bersih masyarakat Indonesia terus menurun.

Disposable income mengacu pada pendapatan yang tersisa setelah dikurangi pajak dan kewajiban lain.

Kondisi ini memicu kekhawatiran masyarakat akan masa depan, mendorong mereka untuk berhemat dan lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok.

Di tengah tekanan ekonomi, sektor FnB juga terpukul oleh isu geopolitik. Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina memunculkan aksi boikot terhadap produk-produk tertentu, termasuk yang terkait dengan merek-merek global di sektor FnB.

Aksi ini berdampak pada penurunan penjualan, terutama di kota-kota besar yang menjadi pusat konsumsi.

“Gerakan boikot ini semakin memperburuk kondisi, terutama di tengah daya beli masyarakat yang sudah melemah,” ungkap Bhima.

Menurutnya, konsistensi aksi boikot menciptakan tekanan tambahan bagi perusahaan FnB yang sudah menghadapi berbagai tantangan.

Pajak dan pungutan menjadi persoalan lain yang memperberat beban masyarakat. Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pada 2025 menambah tekanan psikologis konsumen.

Beberapa kebijakan yang direncanakan, seperti kenaikan PPN menjadi 12%, berakhirnya pajak UMKM 0,5%, hingga penyesuaian tarif KRL, menciptakan persepsi bahwa masyarakat perlu mengencangkan ikat pinggang.

“Jika tarif PPN naik menjadi 12%, harga barang akan melonjak lebih tinggi, dan masyarakat akan lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dibandingkan makan di luar,” ujar Bhima.

Situasi ini juga diperburuk oleh rendahnya kenaikan upah pekerja, yang bahkan lebih kecil dari kenaikan PPN sebelumnya pada 2022.

Selai itu, gelombang PHK di berbagai sektor turut menurunkan pendapatan masyarakat.

Banyaknya pekerja informal dengan upah rendah memperparah situasi ini.

Ketidakstabilan penghasilan membuat masyarakat semakin berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka.

Terutama untuk kebutuhan non-esensial seperti makanan cepat saji.

Di sisi lain, pertumbuhan kredit UMKM yang hanya 4,3% menunjukkan bahwa sektor usaha kecil dan menengah yang sering menjadi tulang punggung ekonomi juga menghadapi tantangan besar.

“Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan kredit UMKM agar roda ekonomi bisa kembali bergerak,” tambah Bhima.

Menurut Bhima, untuk memulihkan sektor FnB dan daya beli masyarakat, sejumlah langkah strategis perlu diambil.

Pertama, pemerintah harus meninjau ulang rencana kenaikan pajak dan pungutan pada 2025.

Kebijakan ini dapat memberikan ruang lebih bagi masyarakat untuk membelanjakan uangnya, sehingga membantu menggerakkan perekonomian.

Kedua, pemberian insentif pajak yang tepat sasaran sangat penting, terutama bagi industri padat karya.

Selain itu, perluasan bantuan sosial kepada kelas menengah juga bisa membantu mengurangi tekanan ekonomi.

Ketiga, pengelolaan anggaran negara harus lebih efisien. Dengan memastikan belanja APBN tidak berlebihan, pemerintah bisa menciptakan ruang fiskal yang cukup untuk menekan defisit dan utang negara.

Langkah ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS