PARBOABOA, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang menolak revisi revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP) menjadi usul inisiatif DPR selama hanya untuk mengakomodasi omnibus law.
Salah satu anggota DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf pun mengungkapkan alasan fraksinya menolak pengesahan UU PPP. Alasan tersebut dibacakan saat menyampaikan pendapat fraksi dalam rapat paripurna.
Alasan pertama, PKS menyarankan supaya DPR lebih dahulu menyepakati mekanisme yang pasti dalam penggunaan metode Omnibus Law. Ini supaya produk hukum Omnibus Law yang gagal seperti UU Cipta Kerja tidak lagi terulang.
"Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII Tahun 2020 yang menyatakan proses pembentukannya cacat secara formil menujukkan betapa penggunaan metode omnibus law yang tidak memiliki koridor yang pasti dan diteruskan merupakan tindakan inkonsistusional dan membahayakan," kata Yusuf saat memaparkan pandangan fraksinya di Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (8/2).
Bukhari melanjutkan, RUU ini juga harus memastikan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode Omnibus Law tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa tanpa adanya jangka waktu yang jelas dengan mengabaikan partisipasi publik.
Dia juga menyatakan, PKS menolak Pasal 73 RUU itu yang mengatur mekanisme perbaikan teknis oleh Kementerian Sekretariat Negara dalam hal masih terdapat kesalahan ketik setelah RUU yang telah disetujui bersama disampaikan oleh DPR ke presiden untuk disahkan dan diundangkan.
"Karena itu PKS menolak ketentuan tentang perbaikan RUU setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna DPR karena ini membenarkan praktik legislasi yang tidak baik sehingga merendahkan marwah pembentukan UU," tegas Bukhari.
Menurutnya, penolakan ini penting meskipun dalam pasal 72 ayat 1 a draf RUU Perubahan P3 ini disebutkan bahwa perbaikannya hanya meliputi perbaikan kesalahan teknis penulisan yang dilakukan pimpinan alat kelengkapan DPR dan pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang bahas UU tersebut.
"Pada praktiknya ketentuan ini rawan untuk disalahgunakan seperti yang terjadi saat pengesahan RUU Cipta Kerja di mana terdapat perubahan materi muatan RUU Cipta Kerja secara substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar bersifat teknis penulisan," lanjut dia.
Dia juga menegaskan, RUU ini harus mengakomodir dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus melibatkan pihak pro dan kontra secara seimbang serta sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat.
Selain itu, RUU ini seharusnya tidak dibuat hanya untuk memberikan payung hukum terhadap revisi UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, namun sebagai upaya menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka perbaikan kualitas legislasi yang memihak kepada kepentingan rakyat.
"Kami dari Fraksi PKS menyatakan menolak untuk dilakukan pengambilan keputusan hari ini karena masih minimnya pembahasan di badan legislasi yang baru melaksanakan tiga kali rapat dalam rangka penyusunan RUU tersebut," tutup Bukhari.
Meski demikian, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui revisi UU PPP menjadi RUU usul inisiatif DPR setelah delapan dari sembilan fraksi sepakat.