PARBOABOA, Jakarta – Depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi perasaan, cara berpikir dan bertindak.
Umumnya, gejala depresi pada seseorang adalah merasa sedih dan kehilangan minat untuk beraktivitas seperti yang biasa dilakukan.
United Nations Children's Fund (UNICEF) Indonesia menyatakan bahwa kondisi depresi bisa ringan dan sementara, atau berat dan berkepanjangan.
Lalu, ada sebagian orang yang mengalami depresi hanya sekali seumur hidup dan ada pula yang mengalaminya berkali-kali.
Dilansir dari National Library of Medicine, kasus depresi biasanya terjadi di negara berpenghasilan rendah dengan prevalensi 11%. Sedangkan untuk negara dengan penghasilan tinggi, prevalensinya mencapai 15%.
Para ahli belum mengetahui penyebab pasti seseorang dapat mengalami depresi. Namun, mereka menduga jika kelainan kesehatan mental ini terjadi dikarenakan sejumlah faktor pemicu.
Seperti, masalah biologis, gangguan kimia pada otak, gangguan hormon, penyakit keturunan, mengalami peristiwa dalam hidup, efek samping obat, kepribadian, dan kondisi medis.
Di samping itu, menurut American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), depresi ternyata dapat meningkatkan risiko terkena diabetes tipe 2 dengan prevalensi 60%.
Hal itu terjadi karena depresi meningkat secara moderat pada pasien pra-diabetes dan pasien dengan diabetes yang tidak terdiagnosis. Peningkatan tajam juga terjadi pada pasien dengan diabetes yang sebelumnya didiagnosis.
Tingkat prevalensi depresi dapat mencapai tiga kali lebih tinggi pada pasien dengan diabetes tipe 1. Sedangkan untuk penderita diabetes tipe 2, prevalensinya lebih tinggi dua kali jika dibandingkan dengan populasi umum di dunia.
Jika depresi muncul pada pasien diabetes tipe 1 dan 2, maka akan memperburuk prognosis diabetes, menurunkan kualitas hidup, meningkatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan, dan meningkatkan angka kematian.
Mekanisme patofisiologis
Lebih lanjut, sebab aspek negatif terkait kesehatan individu dan sistem layanan kesehatan, komorbiditas diabetes dan depresi pun memicu banyaknya penelitian dalam dekade terakhir.
Pada tahun 2015, terdapat dua ulasan berbeda yang menunjukkan adanya 3 kemungkinan arah hubungan antara diabetes dan depresi.
Kedua penyakit ini dianggap memiliki kemungkinan adanya etimologi yang serupa, di mana diabetes meningkatkan prevalensi atau risiko depresi di masa depan dan begitupun sebaliknya.
Studi terbaru menunjukkan jika tidak ada faktor genetik umum yang menjelaskan hubungan positif antara depresi dengan diabetes tipe 1 dan 2.
Namun, faktor lingkungan yang berbeda dapat mengaktifkan jalur umum yang memicu timbulnya diabetes tipe 2 dan depresi.
Salah satu faktornya yakni status sosial ekonomi rendah. Kondisi ini dinilai dapat meningkatkan kemungkinan terkena diabetes tipe 2 dan menjadi penyebab depresi.
Penyebab umum depresi yaitu kurang olahraga, kurang tidur, dan pola makan. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka kandidat utama untuk jalur umum bisa jadi adalah aktivasi dan gangguan terhadap sistem stres.
Apabila mengalami stres kronis, maka penderita akan mengaktifkan sumbu hipotalamus – hipofisis – adrenal (sumbu HPA) serta sistem saraf simpatis (SNS).
Selain itu, stres kronis juga dapat meningkatkan, produksi adrenalin, noradrenalin di medula adrenal, dan produksi kortisol di korteks adrenal.
Aktivasi SNS yang berkepanjangan dapat meningkatkan resistensi insulin, sindrom metabolik, obesitas visceral, dan diabetes tipe 2.
Stres kronis ternyata memiliki konsekuensi perilaku, yakni berupa mengaktifkan sistem ketakutan yang menyebabkan kecemasan, menghasilkan depresi dan menimbulkan keinginan akan makanan.
Kemudian, stres kronis turut mengakibatkan terjadinya disfungsi terhadap kekebalan secara langsung atau bisa juga melalui sumbu HPS/SNS, sehingga produksi sitokin inflamasi pun meningkat.
Sitokin inflamasi dalam jumlah tinggi menginduksi resistensi insulin serta adanya interaksi dengan fungsi normal sel β pankreas, dan dengan demikian, mendorong munculnya diabetes tipe 2.
Berdasarkan penelitian terbaru, ditunjukkan jika respon inflamasi nyatanya terlibat dalam patofisiologi depresi.
Lalu, turut ditemukan sitokin proinflamasi berinteraksi dengan banyak domain patofisiologis yang menjadi ciri dari depresi.
Berdasarkan catatan National Library of Medicine, 50% penderita yang diobati dengan interferon Alfa mengalami depresi, dan pasien dengan depresi memiliki tingkat sitokin darah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien non-depresi.
Korelasi ini pun menunjukkan jika stres yang melalui kerusakan kronis sumbu HPA-SNS dan peradangan keduanya memicu depresi dan diabetes tipe 2.