PARBOABOA, Jakarta – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menduga politik identitas akan lebih banyak digunakan oknum politisi di Pemilu 2024.
Oleh karenanya, kata Kepala Bidang Humas Bawaslu, Lolly Suhenty perlu dingatkan kembali ancaman politik identitas tersebut, terutama terhadap warga minoritas.
Ia juga berharap adanya dukungan dari tokoh-tokoh agama untuk mencegah maraknya politik identitas saat Pemilu.
"Pertama, kita harus menyepakati definisi tentang politik identitas dan politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)," kata Lolly, Jumat (14/4/2023).
Lolly menjelaskan, definisi politik identitas atau politisasi SARA penting, karena aturan Pemilu tidak memberi pengertian yang jelas terkait hal tersebut.
“Kalau merujuk ke Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada penjelasan yang detail tentang pengertian politik identitas,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, pasal di UU Pemilu hanya memuat larangan menghina, menghasut, mengadu domba dan menggunakan kekerasan saat kampanye. “Jadi tidak ada definisi dalam penjelasan UU Pemilu sebagai rujukan kita," ungkap Lolly.
Selain definisi politik identitas, pengawasan terhadap dugaan politik identitas juga menjadi pekerjaan rumah yang masih dihadapi Bawaslu, hingga saat ini.
Kemudian Bawaslu, lanjut Lolly, harus memiliki rujukan jelas untuk mengawasi kampanye tanpa politik identitas. Apalagi masyarakat memiliki harapan yang tinggi terhadap Bawaslu untuk mencegah dan menindak dugaan pelanggaran kampanye yang menggunakan politisasi SARA.
"Orang tidak pernah mau tahu kami dibatasi oleh regulasi, yang orang tahu tidak boleh ada politisasi SARA," jelasnya.
Lolly berharap banyak kampanye yang lebih sehat dan tidak menggunakan politik identitas.
Bawaslu bahkan gencar memberikan diskusi dan penyuluhan terkait politik identitas ke daerah, meminimalisir dampak buruk akibat kampanye yang membawa politik identitas itu, tambahnya.