PARBOABOA - “Pemberhentian berikutnya Glodok. Periksa kembali barang bawaan Anda dan hati-hati di jalan.” Suara pengumuman dari Bus TransJakarta menandai tibanya tim Parboaboa di salah satu destinasi wisata ikonik Jakarta.
Glodok, kawasan yang dulunya menjadi tempat isolasi masyarakat Tionghoa di abad ke-17, kini telah menjelma menjadi Chinatown terbesar di Indonesia.
Ketika menyusuri jalanan Petak Sembilan, pandangan langsung tertuju pada sebuah bangunan khas Tionghoa berwarna merah mencolok. Bangunan ini ternyata adalah Wihara Toasebio, wihara tertua di Jakarta yang menyimpan segudang kisah sejarah.
Berdiri sejak tahun 1751, Wihara Toasebio menjadi saksi bisu berbagai peristiwa besar, termasuk tragedi Geger Pecinan, pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC di Batavia.
Dedi (32), salah satu pengelola Wihara, mengungkapkan bahwa sejak awal berdirinya, wihara ini telah menjadi pusat peribadatan.
“Wihara ini didirikan untuk memuja Kongco Cheng Goan Cheng Khun. Bahkan sejak 1751 sudah ada hiolo kotak yang digunakan untuk persembahan dupa,” ujar Dedi.
Pada 1983, dibentuk Yayasan Wihara Dharma Jaya Toasebio untuk mengelola wihara ini dengan lebih terstruktur.
Tiga Kepercayaan di Satu Atap
Selain usianya yang hampir mencapai tiga abad, Wihara Toasebio memiliki keunikan lain, yaitu menggabungkan tiga kepercayaan seperti Buddha, Konghucu, dan Taoisme dalam satu atap. Hal ini menjadikan wihara Toasebio sebagai simbol harmoni keberagaman.
Di dalamnya, terdapat altar utama yang didedikasikan untuk Cheng Coan Cheng Khun, dewa pelindung wilayah. Menariknya, di Indonesia, dewa ini hanya dipuja di dua tempat: Wihara Toasebio di Jakarta dan Kelenteng Tek Hay Kiong di Jawa Tengah.
Dilihat dari segi arsitekturnya, Wihara Toasebio ini sangat khas dengan bangunan bergaya Tionghoa.
Ketika memasuki gerbang depan Wihara, pengunjung akan disambut pintu besar berlatar biru dengan ukiran dua sosok yang memegang kapak dan tombak. Atapnya dihiasi ornamen naga, simbol perlindungan dan keberuntungan.
Ornamen naga di sudut atap, dinding serta lilin di sudut ruangan dimaknai sebagai simbol keagungan dan pengusir roh jahat sehingga rumah atau Wihara dapat senantiasa tentram dan damai.
Di dalam ruangan, aroma dupa memenuhi udara, ditemani lilin-lilin besar berwarna merah setinggi bahu dan pinggang orang dewasa. Dalam kepercayaan Tionghoa, lilin-lilin tersebut merupakan simbol penerangan bagi umat sehingga terhindar dari kegelapan.
Lebih lanjut, Dedi menjelaskan di Wihara Toasebio terdapat tuan rumah yang bernama Cheng Coan Cheng Kun. Dewa ini bertugas untuk menjaga masyarakat di suatu kota atau wilayah sehingga merupakan dewa utama bagi dewa-dewa lainnya di Wihara Toasebio.
Selain itu, ada fakta menarik tentang Dewa Cheng Coan Cheng Kun. Di Indonesia, dewa ini hanya dipuja di dua tempat, yaitu di Wihara Toasebio, Jakarta, dan Kelenteng Tek Hay Kiong, Jawa Tengah.
Menurut Dedi, tak ada perawatan yang amat khusus bagi Wihara Toasebio sebagai wihara tertua di Jakarta. Hanya saja, setiap tahunnya akan dilakukan pengecetan ulang pada dinding wihara serta pembersihan asap lilin yang menempel pada kayu atap Toasebio.
"Dari semuanya, bangunan yang masih ori ya atap bangunan ini. Untuk sisanya itu udah tambahan semua. Kayu-kayunya ini kan terbuat dari kayu jati, jadi bisa bertahan lama," jelas Dedi saat diwawancarai di dalam Wihara Toasebiio.
Wihara Toasebio tidak hanya melayani umat setiap hari dari pukul enam pagi hingga enam sore, tetapi juga terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar sejarah.
Berbagai kegiatan tahunan seperti Imlek, Cap Go Meh, dan Waisak rutin digelar, menjadikan wihara ini tetap hidup sebagai pusat budaya.
Dedi berharap keberadaan Wihara Toasebio sebagai wihara tertua di Jakarta dapat menjadi pengingat bagi generasi muda untuk tidak melupakan sejarah.
“Sebagai generasi muda, kita harus menjaga sejarah agar tidak hilang dan turut membantu melestarikannya," ujarnya penuh semangat.
Ia juga menambahkan bahwa dokumentasi berupa video dapat menjadi cara yang efektif untuk melestarikan budaya, sekaligus menarik wisatawan dari dalam maupun luar negeri, sehingga memberikan nama baik bagi Wihara Toasebio dan Indonesia.
Mengunjungi Wihara Toasebio bukan sekadar wisata, melainkan perjalanan untuk menyelami sejarah panjang dan nilai budaya yang masih dijaga hingga kini. Wihara ini menjadi bukti nyata bahwa harmoni dalam keberagaman dapat terwujud dan terus diwariskan.
Penulis: Surya Mahmuda
Peserta Program Magang Parboaboa