PARBOABOA, Jakarta - Medio Juli 2024 lalu, PT Agung Sedayu Group (ASG) mengklaim, pembebasan lahan pengembangan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 telah dilakukan secara transparan.
Tak hanya itu, menurut mereka, pembelian tanah untuk memperlancar serta mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) ini seringkali lebih tinggi dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
ASG menegaskan, komitmen ini mau menunjukkan bahwa pihaknya selalu "berusaha menjaga keterbukaan dan mengutamakan kepentingan masyarakat setempat dalam proses pembebasan lahan untuk proyek PIK 2."
Namun, klaim perusahaan tersebut di atas, bertolak belakang dengan cerita warga di lokasi. Parboaboa merekam kesaksian mereka dalam sebuah liputan khusus bertajuk, Aroma Janggal Pembebasan Lahan PIK 2.
Menurut warga, ganti rugi pembebasan lahan tidak berdasarkan kesepakatan bersama, melainkan dilakukan secara sepihak oleh pengembang.
Bahkan, warga baru mengetahui besaran ganti rugi setelah pemerintah desa meminta untuk menyerahkan sertifikat serta bukti kepemilikan tanah.
Adapun besaran ganti rugi yang mereka terima sangat bervariasi, mulai dari Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta per orang dan tergantung jenis bangunannya.
Beberapa warga Desa Kohad, mereka yang turut mendapatkan imbas dari pengembangan PIK 2 mengakui, menerima kompensasi hanya sebesar Rp1,7 juta per meter persegi lahan.
Warga menyebut, nilai ini terlalu rendah. Mereka khawatir dana tersebut tidak akan mencukupi untuk membangun rumah baru dengan kualitas yang sama seperti sebelumnya. Terlebih lagi, tidak ada kepastian mengenai lokasi dan status kepemilikan tanah relokasi.
"Kita enggak mau kalau sekadar ditunjuk: nih nanti pindahnya di sana-di sana, sementara legalitas suratnya gimana? Kita sekarang kan sertifikat hak milik," kata salah satu warga, sebut saja Sutoyo.
Ketidakberesan inilah yang membangkitkan amarah warga sehingga bersikap tegas menolak untuk direlokasi. Apalagi, relokasi yang disodorkan ditetapkan tanpa melalui negosiasi.
Kata Sutoyo, skema relokasi sebaiknya, "dibicarakan dulu, warga maunya gimana."
Di Indonesia saat ini, pemerintah memang sedang gencar membangun infrastruktur melalui skema PSN di berbagai sektor, seperti jalan tol, waduk, bendungan, kereta api, bandara, pelabuhan, hunian, dan sistem penyediaan air minum (SPAM).
Namun, pembebasan lahan milik warga untuk sejumlah proyek tersebut, masih menjadi tantangan besar yang tengah dihadapi.
Banyak pihak hanya melihat hasil akhir pembangunan tanpa menyadari kompleksitas di awal, terutama terkait pembebasan lahan sebagaimana terjadi pada proyek pengembangan PIK 2.
Pada tahun 2022, data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya 32 konflik agraria yang terjadi, di mana 11 di antaranya berkaitan dengan PSN. Konflik tersebut mencakup area seluas lebih dari 102.000 hektare dan berdampak pada hampir 29.000 keluarga.
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah bentrokan di Pulau Rempang, Batam, yang terjadi pada awal September 2023. Di sana, rencana pembangunan kawasan industri dan pariwisata bernama Rempang Eco City memicu bentrokan antara warga setempat dan aparat.
Warga meminta agar proyek ini tidak menggusur kampung adat mereka, yang hanya mencakup sekitar 10 persen dari total luas Pulau Rempang.
Namun, proses relokasi yang ditawarkan pemerintah daerah belum menemui titik terang. Sementara itu, tekanan dari pihak pengembang semakin kuat karena lahan tersebut ditargetkan untuk segera diserahkan.
Dalam merespon konflik ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 95/2023 untuk mempercepat proses pengadaan tanah bagi PSN.
Salah satu perubahan penting dalam aturan ini adalah memasukkan tanah ulayat atau adat sebagai bagian dari objek yang dapat diberikan kompensasi.
Selain itu, pembayaran ganti rugi dapat berupa uang atau penyediaan aset pengganti seperti relokasi, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Proses pengadaan tanah untuk PSN terdiri dari beberapa tahap yang dimulai dari perencanaan hingga penyerahan hasil.
Pada tahap perencanaan, instansi yang membutuhkan tanah menyusun rencana pembangunan dengan melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Setelah itu, dilakukan penyesuaian rencana dengan tata ruang yang berlaku sebelum masuk ke tahap persiapan. Gubernur punya peran penting pada tahap ini, di mana ia membentuk tim persiapan dalam waktu lima hari setelah menerima dokumen perencanaan lahan.
Selanjutnya dilakukan konsultasi publik, yang melibatkan penilai independen dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menjelaskan tujuan dan maksud pengadaan lahan.
Selain itu, pendataan awal dilakukan untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan kompensasi. Mereka yang berhak antara lain pemegang hak atas tanah, masyarakat hukum adat, dan pemilik bangunan atau tanaman yang ada di lahan tersebut.
Semua aspek, mulai dari luas tanah, bangunan, hingga tanaman seperti pohon, sumur, dan fasilitas lain yang ada di atas lahan akan dihitung untuk menentukan besaran ganti rugi.
Pada tahap pelaksanaan, kepala kantor wilayah memimpin pelaksanaan pengadaan tanah, yang melibatkan pejabat daerah, camat, lurah, dan kepala desa. Setelah tanah diserahkan, instansi yang memerlukan lahan dapat mulai melaksanakan pembangunan, baik secara bertahap maupun keseluruhan.
Kendati demikian, dalam banyak kasus, sejumlah tahapan ini banyak yang diabaikan. Di kasus PIK 2, misalnya, kata Sutoyo, warga hanya meminta semua proses berlangsung transparan dan adil bagi pemilik tanah.
Yang membuatnya jadi runyam, sebut dia, pemerintah melalui aparat desa mendesak pemilik tanah menerima begitu saja "skema relokasi" tanpa negosiasi dan sosialisasi.
Untuk diketahui, hingga 4 Oktober 2023, sebanyak 170 proyek PSN telah diselesaikan dengan nilai investasi sebesar Rp1.299,41 triliun. Sebanyak 17 proyek telah diresmikan oleh Presiden Jokowi dengan nilai mencapai Rp259,41 triliun.