PARBOABOA - Panen raya padi berlangsung Januari sampai Maret 2023 di semua wilayah Indonesia.
Istilah panen raya itu bagi petani menanam antara bulan satu atau bulan kedua sampai bulan ketiga. Kemudian, panen raya tiba pada bulan keempat.
Masa hidup tanaman padi mulai tanam hingga panen berkisar antara tiga-empat bulan, sedangkan sistem pertanaman padi empat kali setahun.
Bagi Legino, 65 tahun, serta Kelompok Petani Bengawan tidak mau memakai cara tersebut. Kelompok Petani Bengawan justru lebih memilih sistem dua kali panen tiap setahun.
Alasannya menolak memakai sistem tiga-empat kali panen tiap setahun. Rupanya, menyoal hasil produksi padi di sawah menurun.
“Panen tiga kali saja bapak enggak mau,” ungkap Ketua Kelompok Tani Bengawan kepada Parboaboa, Sabtu 18 Maret 2023, di Desa Medan Krio, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara.
“Pernah diarahkan pemerintah kalo tiga kali panen. Cuma hasilnya menurun sekitar empat ton. Ya sama saja tiga kali panen 12 ton. Jadi kalo setahun dua kali bisa dapat enam ton. Ya kalo dua kali panen dapat 12 ton,” tambahnya lagi.
Bahkan saat tiba panen kedua, menurut Legino, memakai sistem dua kali panen tiap setahun. Hasil produksi padi akan meningkat.
“Yaitu, sekitar enam ton per hektar. Seluas satu hektar itu bisa dapat enam ton atau lebih. Tapi kalo nanti panen bulan tujuh dan delapan. Nih kan kita mau tanam padi, habis raya (Hari Raya Lebaran) antara bulan lima dan enam. Nanti kan panen itu hasil meningkat,” ungkap yang pernah diundang ke istana negara dan diberikan sertifikat oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, pada 2001 silam.
“Nah jadi kalo tanam padi itu panen musim hujan itu hasil tinggi. Tapi kalo tanam padinya musim hujan. Panen musim kemarau itu hasilnya menurun,” tambahnya lagi.
Realitas sosial petani Sumatra Utara tidak memakai pengelolaan sawah sistem tiga-empat kali panen tiap setahun, sebab memakan modal besar.
“Kalo masa hidup tanaman padi hingga panen ya memang empat bulankan. Gini, mulai turun sawah enggak langsung tanam padikan. Umumnya tanam padi dari awal hingga panen itu empat bulan. Jadi kalo ada yang bisa panen tiga bulan umur gabahnya kurang lebih 100 harikan. Ya tergantung pengelolaannya itu, irigrasinya juga, belum lagi iklim atau cuacakan?” ujar Legino.
Selain itu, penyebab Legino menggunakan sistem dua kali panen tiap setahun dibandingkan tiga-empat kali panen tiap setahun.
Agar harga gabah yang dipanen di sawah tinggi saat menjualnya ke kilang padi. Pasalnya, harga gabah tinggi jika usia gabah sudah tua.
“Begini kalo tanam padi hingga panen umumnya empat bulan ya. Kenapa kami panen dua kali tiap setahun? Karena harga gabah yang bagus itu kalo gabahnya tua. Bilanglah umur padi yang kami panen itu sekitar 150 hari. Kilang padi bayar murah kalo masih hijau padinya. Kan digiling lagi itu nanti. Jadi kalo gabah tua atau cukup umur kalo digiling isinya besar. Kalo hijaukan susut dia jadi kecil berasnya,” ungkapnya
“Makanya kita panen dua kali setahun, 150 hari gabahnya berarti lima bulan ya. Dua kali panen berarti 10 bulan. Bilanglah dua bulan itu proses persiapan tanam sama panen. Kadang kalo cuaca gak bagus. Kita sesuaikan juga jadinya,” tambahnya lagi.
***
Rosti Nainggolan, petani di areal Persawahaan Bahkora II, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Siantar Marihat, mengaminkan ucapan Legino.
Petani di Sumatra Utara banyak menggunakan sistem dua kali panen tiap setahun.
Sistem menaman sampai memanen padi, petani di Siantar ini juga menggunakan sistem dua kali panen tiap setahun.
Menurutnya, biar lebih hemat dibandingkan memakai sistem tiga-empat kali panen tiap setahun.
Total pengeluaran biaya sedari proses penanaman, pupuk, dan obat-obatan seluas lima rantai sawah milik Rosti saja mencapai Rp3 jutaan.
Belum lagi kendala masuk musim panen padi tiba. Hama tikus dan burung di sawah mengintai petani.
“Kalau memasuki musim panen banyak kali padi di ladang kami ini habis dimakan hama tikus dan burung. Di situ yang banyak kali rintangan,” ungkap perempuan berusia 58 tahun itu sebal, kepada Parboaboa, Sabtu 18 Maret 2023.
Sistem menaman sampai memanen padi, petani di Siantar ini menggunakan sistem dua kali panen tiap setahun.
“Kalau panen dalam setahun dua kalilah dalam setahun. Paling kita tunggu dahulu tiga bulan selesai panen baru kita tanam lagi,” ungkapnya.
Lalu berapa biaya pengelolaan masa hidup tanaman padi dari tanam hingga panen berkisar antara tiga-empat bulan?
“Ya dari mulai pembibitan, kalo kita upahkan ya. Pembibitan itu kita buat betengan itu Rp200 ribu. Sudah ditraktor itu pake rotary roda empat itu Rp1 juta. Sudah begitu namping satu hektar Rp800 ribu. Traktor besar satu sudah dua kali dipakai Rp2 juta. Nanti bibit umur 15 hari baru masukan traktor kecil untuk meratakan tempatnya itu Rp100 ribu juga,” ucap Legino memerinci.
“Jadi sudah kena Rp3 juta lalu nanam Rp1,5 juta. Sudah Rp4,5 juta itu baru siap tanam. Belum racun keongnya, belum pupuknya, seminggu setelah tanam kita pupuk. Kalo satu hektar paling sikit 300 kilo pupuk dasar. Nanti yang kedua bisa 250 kilo,” tambahnya lagi.
***
Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tahun 2008-2021 menunjukkan, bahwa produktivitas padi di lapangan minimal 8 ton/hektar. Eh, petani di Sumatra Utara seperti Legino malah menyanggah hasil penelitian itu.
“Pernah bisa dapat 8 ton. Cuma bisa dibilang 100 satu orang yang bisa. Karena gini, kalo kita panen bulan tujuh atau delapan itu hasil meningkat. Karena apa? Karena waktu kita turun ke sawah, kita tanam padi itu musim kemarau. Jadi kalau musim kemarau. Itu air bisa diatur,” jelasnya.
“Misalnya besok mau dipupuk, air diatur jangan banyak-banyakkan gitu. Cuma kalo kita tanam padi bulan sembilan-sepuluh. Itukan ember-ember musim hujan. Jadi enggak seratus persen pupuk itu bisa murni ketinggalan, pagi mupuk, malam hujan deras. Siapa yang mau dimarahi,” tambahnya lagi.
Sementara itu, untuk produksi padi sawahnya menghasilkan padi sekitar 6 ton per hektar. Jika di atas itu, menurutnya tinggi, karena menghitung hasil produksinya 6,5 sampai 7,5 ton per hektar saban waktu panen padi tiba.
Rupanya masalah petani bukan saja berkutat hasil produksi padi. Pemerintah memberikan bantuan pupuk bersubsidi tidak kalah penting.
Sekarang ini, petani cuma mendapat subsidi Pupuk NPK dan Urea.
“Itu pun susah dan sulit dijatah pula. Padahal yang buat masalah itu sebetulnya bukan kelompok tani, bukan petani. Orang yang banyak duitnya tamak dia,” ucap Legino sebal.
“Orang-orang konglomerat yang buat masalah, yang mau nekong–nekong pupuk subsidi yang mau masuk ke Poktan (Kelompok Tani). Kadang-kadang kita di sini ribut karena enggak mencukupi. Itu kadang-kadang bapak jadi bingung sendiri,” tambahnya lagi.
Bila membandingkan nasib petani era Presiden Soeharto. Maklum saja, Legino memuji Presiden Soeharto atas memperhatikan nasib petani.
Menurutnya, kelompok petani diutamakan, sedangkan era sekarang ini sekadar menyoal bantuan pupuk saja selalu dijatah. Bahkan, bantuan pupuk kadang tersendat-sendat.
“Misalnya jatah untuk Poktan. Bapakkan enggak bisa langsung nebus. Yang nebuskan kios. Jadi satu kios itu yang tebus lima atau enam kelompok tani. Sudah gitukan enggak semua Poktan itu sanggup tebus. Kalo di Kelompok Bengawan ya hanya bapak yang bisa nebus. Karenakan bapak sudah Poktan dan pengepul gabah lagi. Jadi kita bisa bantu petani. Tolong disampaikan kepada pemerintah, janganlah anak tirikan petani!” ucapnya bersungut-sungut.
Memang realitas sosial kehidupan petani getir, tetapi mereka terus mencoba tetap bahagia.
Wak Legino bakal tertawa geli, bila mendengar karangan lagu oleh seniman berdendang petani-petani di Indonesia itu makmur.
“Sebetulnya petani untungnya enggak banyak. Cuma yang bikin banyak itu berkahnya. Banyak seniman-seniman ngarang lagu kalau cerita petani itu makmur,” ujarnya seraya tertawa kecil.
“Ayem tentrem. Karena enggak banyak yang dipikirin. Enggak kaya anggota dewan. Kalau anggota dewankan yang dipikirin banyak. Petani yang dipikirin kalo ada air aman, kalo ada pupuk aman, jadi sama jiran tetangga pun akur-akur. Pokoknya semua ini kita tergantung rejeki,” tambahnya.
Reporter: Dinez Lubis dan Wati Sihombing
Editor: Fery Sabsidi