PARBOABOA, Jakarta - “Sayur buahnya, Bu”. “5000an aja sayurnya, Bunda”, “Tempenya, Pak, Bu”
Begitulah suara sahut-sahutan para pedagang sayur pagi itu. Meskipun kondisi pasar becek pasca hujan semalam, semangat mereka berjualan tetap tinggi.
Satu dua pembeli mulai mendatangi lapak mereka, dan tawar-menawar pun terjadi meskipun harga sayuran sedang naik.
Di sudut lain, setumpuk sayur sisa kemarin dan hasil sortiran pagi ini menumpuk seakan barang tak bertuan dan tak ada guna.
Dibiarkan begitu saja hingga petugas kebersihan mengambil untuk dibawa ke penampungan akhir.
Saat berjalan, pandangan saya tertuju pada seorang ibu yang membawa sayuran segar dan dua kantong plastik yang terikat berisi sayuran afkir. Saya pun bertanya, “untuk apa sayuran sisa itu?”
Perempuan yang tidak menyebutkan nama itu pun menjawab dengan senyuman.
“Buat pakan ternak, Mba. Memang sudah langganan, jadi setiap beli sayur di sini, nanti sama pedagangnya udah dipisahin sisanya buat diambil,” ucapnya.
Obrolan kami berdua pun disambung oleh empat pedagang lain yang ada di situ, suasana menjadi lebih mencair dengan canda tawa yang ada.
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menjelajahi kehidupan pasar.
Problema Sayuran Sisa
Perjalanan panjang sayuran hingga sampai ke tangan pedagang mempengaruhi kondisinya.
Terkadang bagian luar tampak menguning atau membusuk, namun bagian dalamnya masih bagus.
Mau tidak mau, pedagang pun harus memilah dan membersihkan sayuran tersebut agar kualitas tetap terjaga. Hal itu membuat banyaknya sampah bahan pangan di pasar.
Sebagai pedagang, Titin (47) merasakan hal yang sama. Ia mengaku setiap membeli sayur dari pasar induk, dirinya harus memisahkan sayur yang masih bagus dan rusak.
“(dari) 15 kg, yaa paling ada seperempatnya yang gk dipake, biasanya yang udah kuning-kuning daunnya,” ungkapnya.
“Kalo harga mah sama, untung bisa diambil dari (sayuran) yang lain, yang penting gak jual yang jelek-jelek,” pungkasnya.
Perihal nasib sayuran yang tidak terpakai, Ia menerangkan memang ada orang lain yang sudah langganan mengambil sayuran itu dan digunakan sebagai pakan ternak dan pupuk kompos.
Di tempat lain, perempuan paruh baya pedagang sayur eceran sekaligus pengepul sayur sisa memanfaatkan itu untuk pakan ayam.
Keling (50) menuturkan dirinya membeli sayuran dengan sistem borongan, kemudian ia mengemasnya dalam plastik kecil dan dihargai 5000-15.000 rupiah tergantung banyaknya sayuran.
Sedangkan untuk mengumpulkan sayur sisa, Ia mengambilnya dari buangan barang-barang yang sudah disortir saat baru datang di pagi hari.
Dirinya pun mengungkapkan kegiatan itu dilakukannya untuk menekan biaya pakan ternak miliknya.
Penuhi Kebutuhan Pangan Sehari-hari
Sementara itu, kebutuhan pokok yang harus dipenuhi terkadang tidak sebanding dengan keuangan yang ada.
Belum lagi harga yang naik turun terus menghantui pikiran seseorang. Segelintir orang pun memanfaatkan sisa sayuran ini sebagai bahan pangan sehari-hari.
Heri (42), seorang pengumpul sayuran sisa asal Aceh Timur ini menyatakan bahwa ia bisa mendapatkan satu ember penuh dengan berbagai macam sayuran dari hasil meleles atau mengumpulkan sisa sayuran di pasar.
Ia mencari sayur usai pasar tutup di siang atau sore hari selepas bekerja. Lelaki itu pun mendapatkan sayuran dengan menyusuri pasar dan ada yang diberikan oleh penjualnya langsung.
Bapak beranak satu itu mengatakan dari satu ember bisa cukup untuk beberapa hari dan dirinya memanfaatkan sayur-sayur itu untuk konsumsi keluarganya.
“Biasa yang sering dapat bagian persawian, kacang dan terong, dan itu semua kami konsumsi sendiri, tidak sekalipun kami pernah jual,” kata Heri.
Meskipun hasil yang didapatkan lumayan banyak, Heri biasanya memilah dan membersihkan dahulu sayur yang didapatkannya.
Ia harus memastikan bahwa sayur yang diambilnya tetap layak untuk dimakan dan tidak mengakibatkan masalah kesehatan.
Kemudian, Heri menuturkan bahwa dirinya sudah melakukan hal ini sejak berumah tangga, tiga tahun silam.
Lelaki itu juga bercita-cita membuatkan tempat tinggal yang layak bagi istri dan anaknya sehingga memilih meleles sebagai cara mengurangi pengeluaran kebutuhan dan bisa ditabung.
“Alasan saya cari sayuran, memanfaatkan yang masih bisa dimanfaatkan, Alhamdulillah kak, bisa sedikit menekan pengeluaran jadi bisa nambah buat tabungan,” tuturnya.
Tidak berbeda jauh dari Heri, Mamak Karo juga melakukan hal yang sama untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan keluarganya. Ia pun terkadang membagikan hasil meleles sayur kepada kerabat dan tetangganya.
“Dulu waktu awal ambil, dapat banyak itu. Mamak Karo bagilah dengan tetangga, ada yang mau dan ada yang tidak, seperti itu,” pungkasnya.
Namun, stigma negatif kerap kali muncul dari tetangga sekitarnya, seperti menolak untuk makan saat mereka datang ke rumahnya.
Mamak Karo menyatakan bahwa jika ia menyikapinya seperti itu, maka memang begitu realita kehidupannya.
“Selagi tidak mengganggu, tidak mencuri,” sahut Suami Mamak Karo.
Penulis: Hildha Nur Aini
Peserta Program Magang Parboaboa