PARBOABOA, Jakarta - Rencana Presiden Prabowo Subianto membuka perkebunan kelapa sawit berskala besar di Papua menuai penolakan keras dari berbagai kalangan masyarakat sipil.
Salah satu suara paling lantang datang dari Sawit Watch, organisasi yang selama ini mengawal isu dampak ekologis dan sosial industri kelapa sawit di Indonesia.
Sawit Watch menilai kebijakan ekspansi sawit di Papua, yang dikaitkan dengan agenda pengembangan energi alternatif dan target mandatori biodiesel B50 sebagai strategi “jalan pintas”.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebut Papua bukan solusi bagi krisis energi nasional. Karena itu, ekspansi sawit disebut akan menyimpan risiko ekologis dan sosial sangat besar.
“Rencana ini sangat berbahaya, mengancam kelestarian hutan hujan tropis terakhir di Indonesia,” ujar Achmad Surambo dalam keterangannya, Kamis (18/12/2025).
“Ini juga mengabaikan pelajaran pahit dari krisis lingkungan yang kini melanda Sumatera,” tambahnya.
Menurut Achmad, secara ekologis Papua saat ini sudah berada di ambang batas daya dukung lingkungan.
Hal tersebut berdasarkan analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) yang menunjukkan bahwa total potensi lahan sawit yang dinilai sesuai dan optimal di Pulau Papua hanya sekitar 290.837 hektare.
Sementara itu, luas perkebunan sawit eksisting pada 2022 telah mencapai 290.659 hektare, atau nyaris menyentuh batas maksimal kapasitas ekosistem.
“Artinya, luas eksisting sudah sangat krusial dan hampir mendekati kapasitas ekosistem (cap) yang ideal,” ungkap Achmad.
Kondisi tersebut dinilai semakin mengkhawatirkan karena sekitar 75.308 hektare kebun sawit eksisting berada di wilayah dengan variabel pembatas, seperti hutan primer, kawasan konservasi, Key Biodiversity Area (KBA), serta habitat burung cenderawasih.
Situasi ini menunjukkan bahwa ruang ekologis Papua untuk ekspansi sawit praktis sudah habis. Achmad menegaskan, kelapa sawit sebagai tanaman tropis memang memiliki nilai ekonomi dan peran dalam produksi biodiesel.
Namun, sawit tidak bisa ditanam di sembarang wilayah tanpa mempertimbangkan kemampuan lingkungan menopang kehidupan secara berkelanjutan.
Pembukaan lahan baru justru berpotensi memicu deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir dan longsor.
“Kebun kelapa sawit skala besar di Papua adalah ‘jalan pintas’ yang berisiko memicu bencana ekologis, konflik agraria, dan krisis pangan,” kata Achmad kepada Kompas.com, Kamis (18/12/2025).
Ia menekankan bahwa Papua merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis Indonesia yang masih relatif utuh.
Hutan ini memiliki fungsi vital sebagai penyeimbang iklim global, penyerap karbon, serta ruang hidup bagi ribuan spesies tumbuhan dan satwa, sekaligus menjadi sumber pangan dan obat-obatan alami bagi masyarakat adat.
Kerusakan ekosistem hutan hujan tropis, lanjut Achmad, bersifat permanen dan sulit dipulihkan. Karena itu, ekspansi sawit di Papua sama artinya dengan mempertaruhkan masa depan ekologis, sosial, dan budaya masyarakat adat.
Risiko sosial dari kebijakan ini juga dinilai sangat serius. Sawit Watch mencatat sedikitnya 1.126 konflik agraria di sektor perkebunan sawit di Indonesia, yang melibatkan 385 perusahaan dan 131 grup usaha. Ekspansi baru di Papua dikhawatirkan akan memperluas konflik tersebut.
“Masyarakat adat Papua, dengan hak ulayatnya, akan menjadi korban utama kriminalisasi dan kekerasan dalam skema ekstensifikasi ini,” tegas Achmad.
Hentikan Ekspansi
Sawit Watch juga menyoroti pengalaman Sumatera sebagai cermin kegagalan tata kelola sawit. Di wilayah ini, luas tutupan sawit telah melampaui daya dukung ekologis, dengan total sekitar 10,70 juta hektare, sedikit di atas nilai batas atas ekologis sebesar 10,69 juta hektare.
Hampir 6 juta hektare kebun sawit di Sumatera berada di wilayah variabel pembatas, seperti lahan gambut dan daerah tangkapan air. Analisis spasial bahkan menunjukkan lebih dari 320.000 hektare konsesi sawit berada di bentang alam rawan banjir.
“Krisis iklim dan bencana ekologis yang terjadi di Sumatera merupakan bukti nyata dari kegagalan tata kelola sawit dan pelanggaran daya dukung lingkungan,” ujar Achmad.
“Pembukaan lahan baru bisa menghancurkan ekosistem penting ini secara permanen.”
Dari sisi ekonomi, Sawit Watch menilai pemerintah keliru dalam kalkulasi manfaat ekspansi sawit.
Berdasarkan riset organisasi tersebut, skenario pembukaan lahan sawit tanpa moratorium diproyeksikan menimbulkan dampak ekonomi negatif hingga minus Rp30,4 triliun pada 2045, akibat meningkatnya biaya sosial, penanganan bencana, serta hilangnya jasa lingkungan.
Sebaliknya, skema moratorium permanen yang disertai intensifikasi dan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) justru diperkirakan menghasilkan output Produk Domestik Bruto (PDB) positif hingga Rp30,5 triliun dan mampu menyerap sekitar 827 ribu tenaga kerja hingga 2045.
“Bencana ekologis di Sumatera adalah peringatan keras. Jika Papua diperlakukan sama, maka yang kita hadapi adalah bencana yang tertunda,” ujar Achmad.
Atas dasar itu, Sawit Watch mendesak Presiden Prabowo untuk membatalkan rencana ekspansi sawit di Papua dan target ekstensifikasi 600.000 hektare, serta mengalihkan fokus kebijakan ke intensifikasi yang berkeadilan.
Organisasi ini juga meminta pemerintah menerbitkan kembali moratorium izin sawit baru secara permanen, disertai audit menyeluruh terhadap seluruh izin perkebunan, khususnya di wilayah dengan variabel pembatas di Sumatera dan Papua.
“Bencana ekologis di Sumatera adalah peringatan keras. Rencana ekspansi sawit di Papua adalah bencana yang tertunda,” tegas Achmad.
