PARBOABOA, Jakarta - Ormas keagamaan Muhammadiyah akhirnya menerima tawaran pemerintah untuk ikut mengelolah tambang, setelah sebelumnya sempat menimbang-nimbang.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anwar Abbas dalam sebuah keterangan belum lama ini menyampaikan, kesepakatan itu telah diputuskan dalam rapat pleno organisasi.
"Sudah menyetujui," kata Anwar.
Namun demikian tegas Anwar, keputusan itu tidak asal diketok. Melainkan, Muhammadiyah menerimanya dengan memberikan sejumlah catatan.
Ia sendiri mengingatkan, pengelolaan tambang itu nanti harus tetap menjaga keutuhan lingkungan.
Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Azrul Tanjung mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian mendalam sebelum menerima izin tambang.
Merujuk kajian itu, tegasnya, Muhammadiyah siap mengelola tambang.
Azrul menjelaskan mereka telah berdiskusi dengan para pakar sebelum mengambil keputusan itu, termasuk mempertimbangkan sejumlah aspek, baik dari sisi ekonomi, bisnis, aspek sosial, budaya, hukum, HAM dan lingkungan hidup.
Kesimpulannya, Muhammadiyah menerima izin kelola tambang karena Indonesia masih belum mampu melakukan transisi energi. Kata Azrul, jika manusia melepaskan ketergantungan terhadap batu bara, maka dunia akan mengalami kegelapan total.
Untuk menjaga keutuhan lingkungan, ia memastikan Muhammadiyah akan menambang dengan mengusung konsep program tambang hijau.
Menanggapi sikap resmi Muhammadiyah, Presiden Jokowi mengatakan, sejak awal pemerintah memberikan izin kelola tambang kepada organisasi keagamaan semata-mata untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan ekonomi.
Tak hanya itu, mantan Wali Kota Solo itu juga menegaskan, keputusan pemerintah memberi konsesi tambang ke ormas keagamaan merupakan jawaban atas aspirasi beberapa tokoh agama terutama saat ia mengunjungi sejumlah pesantren.
Dalam lawatannya itu, muncul komplain agar perizinan pengelolaan tambang di Indonesia tidak hanya diberikan ke korporasi besar.
"Kami pun kalau diberikan konsesi itu juga sanggup kok," kata Jokowi menirukan aspirasi mereka saat kunjungannya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Jumat (26/7/2024).
Kondisi tersebut, tambah Jokowi, yang akhirnya mendorong pemerintah membuat dan menerbitkan regulasi agar ormas keagamaan diberikan peluang untuk mengelola kekayaan alam Indonesia.
"Tapi bukan ormasnya, badan usaha yang ada di ormas itu, baik koperasi, maupun PT dan CV dan lain lain," ujar Jokowi.
Muhammadiyah harus menolak
Sebelumnya, Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengingatkan Muhammadiyah untuk menolak tawaran izin kelola tambang.
Fahmy menyampaikan, kalau Muhammadiyah menerima, hal itu nanti akan lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang keuntungan.
"Tentang Muhammadiyah menerima tambang, saya bilang justru banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya," kata dia dalam sebuah keterangan.
Apalagi, demikian ia menegaskan, dari cost dan benefit analisis, "lebih banyak cost-nya."
Meskipun nantinya Muhammadiyah membentuk badan khusus semacam PT untuk mengelola tambang, secara pengalaman dan Sumber Daya Manusia (SDM), kata Fahmy, Muhammadiyah belum bisa memenuhi hal tersebut.
Fahmy juga menyentil catatan Muhammadiyah mengenai pertambangan hijau dengan tetap menjaga keutuhan lingkungan. Menurut dia, hal ini akan mustahil karena untuk memperbaiki lingkungan harus reklamasi.
Reklamasi itu, lanjutnya, membutuhkan biaya yang sangat besar.
Bahkan di tahun-tahun pertama, "biayanya itu bisa lebih besar dari pendapatan (pertambangan)."
Sebagai informasi, langkah Muhammadiyah menerima tawaran izin kelola tambang menyusul sikap PBNU yang lebih dulu menyatakan persetujuan sekaligus menerima izin kelola tambang.
Dalam catatan Parboaboa, selain menerima ada juga ormas keagamaan yang menolak. Mereka adalah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI.
Selain itu ada juga Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Jaringan Gusdurian.
Secara garis besar, ormas-ormas keagamaan ini menyatakan sikap menolak karena menilai, tambang bukan ranah mereka, sekaligus menegaskan, proyek pertambangan rentan merusak lingkungan.