PARBOABOA, Jakarta – Fenomena El Nino di Samudra Pasifik membuat wilayah Indonesia mengalami bencana hidrometeorologi kering atau musim kemarau.
El Nino dalam fase moderat ini terjadi sejak akhir Juni 2023 dengan nilai indeksnya adalah +1,54. Kondisi tersebut akan bertahan sampai awal tahun 2024.
Menurut Kepala Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, musim kemarau di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh El Nino.
Namun, juga dipengaruhi oleh kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang nilainya berada di angka +1,527 dan akan terus positif hingga akhir tahun 2023.
IOD sendiri merupakan perbedaan suhu permukaan laut antar dua wilayah, yakni Samudra Hindia bagian barat (Laut Arab) dan Samudra Hindia bagian timur (selatannya Indonesia).
Akibat El Nino dan IOD positif, pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia menjadi berkurang atau lebih sedikit dari normalnya.
Kepala BMKG menyampaikan, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan biasanya berkaitan dengan peralihan dari angin Monsun Australia ke Monsun Asia.
Dwikorita menerangkan, apabila angin Monsun yang berasal dari benua Asia ini membawa uap air dari Samudra Pasifik maka akan mendatangkan musim hujan di Kep. Indonesia.
Berdasarkan analisis BMKG, peralihan musim itu akan terjadi pada November 2023 atau lebih lambat dari biasanya.
Kendati demikian, musim hujan tersebut tidak akan terjadi secara serentak di seluruh Indonesia.
Dia menyebut, wilayah yang dulu akan mengalami musim penghujan adalah wilayah mereka yang berada di dekat benua Asia.
Seperti, sebagian besar wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat bagian tengah, Sumatera bagian tengah dan selatan, Aceh serta sebagian kecil Kepulauan Riau.
Setelah itu, akan disusul oleh wilayah Jawa dan Kalimantan. Kemudian, secara bertahap akan mendominasi seluruh daerah yang ada di Indonesia pada Maret-April 2024 mendatang.