PARBOABOA, Jakarta - Setiap tanggal 23 Juli, masyarakat Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN).
HAN menjadi momen penting untuk merefleksikan pentingnya kepedulian dan komitmen dalam memenuhi hak-hak anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sebelumnya telah memperkenalkan tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" sebagai payung besar peringatan HAN.
Selain tema utama, Panduan Peringatan HAN 2024 juga menghadirkan beberapa sub tema, antara lain:
1. Anak Cerdas, Berinternet Sehat.
2. Suara Anak Membangun Bangsa.
3. Pancasila di Hati Anak Indonesia.
4. Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor.
5. Pengasuhan Layak untuk Anak: Digital Parenting.
6. Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja Anak dan Stunting.
Tema-tema ini mengajak masyarakat tanpa terkecuali untuk melindungi generasi penerus bangsa guna menciptakan masa depan negara yang cerah.
Selain itu, tema HAN kali ini juga mengandung nilai-nilai dasar seperti berakhlak mulia, peduli, bahagia, berani, dan cerdas.
Sesuai dengan Pedoman Peringatan HAN ke-40 Tahun 2024, rangkaian acara diharapkan mampu menonjolkan kelima nilai tersebut.
Perayaan HAN 2024 terbuka bagi berbagai lembaga, baik swasta maupun pemerintah, dan dapat dilaksanakan di pusat pemerintahan, daerah, serta perwakilan Indonesia di luar negeri.
HAN diharapkan memberi dampak positif bagi anak-anak Indonesia, mendorong mereka untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat, aman, dan penuh kasih sayang.
Sejarah HAN di Indonesia
HAN di Indonesia berawal dari gagasan Hari Kanak-Kanak Nasional yang diinisiasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Kowani sendiri didirikan pada 1946, meskipun akarnya telah ada sejak Kongres Perempuan Indonesia I pada 22 Desember 1928.
Pada sidang 1951, Kowani mengusulkan adanya Hari Kanak-Kanak Nasional sebagai bentuk perhatian khusus terhadap anak-anak di Indonesia.
Perayaan pertama Hari Kanak-Kanak Nasional berlangsung pada 1952 dalam sebuah acara bernama Pekan Kanak-Kanak.
Dalam acara tersebut, anak-anak turut serta dalam pawai di Istana Merdeka dan mendapat sambutan hangat dari Presiden Soekarno.
Lebih lanjut, pada sidang Kowani di Bandung tahun 1953, HAN kemudian direncanakan dengan lebih serius dan sistematis.
Meskipun demikian, pada awalnya, tidak ada tanggal tetap untuk perayaan Hari Kanak-Kanak Nasional.
Sidang Kowani yang diadakan di Bandung pada 1953 memutuskan bahwa Pekan Kanak-Kanak akan diselenggarakan secara rutin setiap minggu kedua bulan Juli, bertepatan dengan liburan kenaikan kelas.
Selanjutnya, pada tahun 1959, pemerintah menetapkan tanggal 1-3 Juni sebagai hari perayaan anak di Indonesia.
Pemilihan tanggal ini disesuaikan dengan ulang tahun Presiden Soekarno dan perayaan Hari Anak Internasional.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengubah tanggal peringatan Hari Kanak-Kanak Indonesia menjadi 23 Juli.
Penetapan ini bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979.
Perubahan tanggal peringatan HAN kemudian dikukuhkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 44 Tahun 1984.
Dengan demikian, HAN diperingati setiap 23 Juli, sebagai momentum penting untuk terus memperhatikan kesejahteraan dan perkembangan anak-anak di Indonesia.
Bagaimana Situasi Anak Indonesia Hari Ini?
Penelitian yang dilakukan Rudi Subiyakto (2012) mengungkapkan kasus eksploitasi, kekerasan, dan tindak pidana terhadap anak di Indonesia masih sangat tinggi.
Tercatat, sekitar 6.000 anak di Indonesia kini sedang berhadapan dengan hukum.
Dari jumlah tersebut, lebih dari 5.000 anak berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak, sementara sisanya ditempatkan di Lapas Dewasa, tahanan kepolisian, atau lokasi lainnya.
Masalah eksploitasi dan kekerasan terhadap anak diperparah dengan peningkatan jumlah pekerja anak dari tahun ke tahun.
Berdasarkan Data Sensus Kesejahteraan Nasional (Susenas) 2003, terdapat 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak bersekolah.
Selain itu, sekitar 1.621.400 anak lainnya tidak bersekolah namun membantu pekerjaan di rumah atau melakukan aktivitas lainnya.
Data ini juga menunjukkan bahwa insiden pekerja anak dan ketidakhadiran di sekolah lebih tinggi di daerah pedesaan.
Di perkotaan, sekitar 90,34 persen anak-anak usia 10-14 tahun bersekolah, sementara di pedesaan angkanya hanya mencapai 82,92 persen.
Pada tahun 2004, diperkirakan sebanyak 1,4 juta anak berusia 10-14 tahun terlibat dalam pekerjaan dan ikut mencari nafkah.
Sebagian besar dari mereka bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang dan dalam kondisi yang membahayakan sehingga dapat merusak masa depan mereka.
Jenis-jenis pekerjaan ini sering disebut sebagai pekerjaan buruk. Mereka juga tidak mendapatkan kesempatan pendidikan yang seharusnya bisa memberikan masa depan lebih baik.
Para aktivis perlindungan anak memperkirakan jumlah anak yang dipekerjakan mencapai 6.000 hingga 12.000 orang.
Sementara data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan jumlah pekerja anak mencapai 2,685 juta anak.
Data dari Susenas juga mengungkapkan 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun bekerja dan tidak bersekolah, serta sekitar 1.621.400 anak tidak bersekolah dan membantu pekerjaan di rumah atau melakukan aktivitas lainnya.
Sebanyak 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan pertama (13-15 tahun), atau 19 persen dari total anak usia tersebut, tidak bersekolah.
Menurut data yang sama, jumlah pekerja anak di pedesaan lebih banyak dibandingkan di kota, dengan perbandingan 79 persen di pedesaan dan 21 persen di kota.
Sebanyak 62 persen dari mereka bekerja di sektor pertanian, 19 persen di sektor industri, dan 19 persen di sektor jasa.
Sebanyak 2,1 juta diantaranya bekerja dalam kondisi lingkungan yang buruk, seperti di pertambangan atau terpapar bahan kimia pestisida di perkebunan.
Masih banyak kasus lain yang menjadikan anak sebagai korban, seperti kekerasan, pelecehan seksual dan masalah stunting.
Situasi ini menggarisbawahi perlunya tindakan yang lebih tegas dan sistematis untuk melindungi anak-anak Indonesia dari eksploitasi dan memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak demi masa depan.
Dengan peringatan HAN yang dijalankan serentak pada 23 Juli 2024 ini, masyarakat Indonesia juga diharapkan untuk terlibat aktif dalam melindungi dan mengakomodasi hak-hak anak.
Editor: Defri Ngo