PARBOABOA, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat sorotan dari berbagai pihak setelah menyatakan presiden boleh berkampanye dan memihak dalam Pilpres 2024.
Pernyataan tersebut muncul sebagai tanggapan atas keikutsertaan beberapa menteri kabinet yang bukan pelaku politik tetapi terlibat dalam mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Menurut Jokowi, partisipasi ini adalah bagian dari hak demokrasi setiap orang, selama tidak menggunakan fasilitas negara.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima dengan baik oleh sejumlah pihak.
Seorang Pengamat Komunikasi Politik, Emrus Sihombing, menyatakan bahwa sebagai Kepala Negara, Jokowi seharusnya bersikap netral.
Emrus mengingatkan bahwa Jokowi adalah Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk tiga pasangan calon yang sedang bersaing dalam Pilpres 2024.
“Pandangan Presiden tetap kami hargai. Namun, Presiden ialah Presidennya Ganjar, Prabowo dan Anies, nah karena dia Presiden tiga kandidat itu, sangat tidak elok Beliau memihak salah satu kandidat, apalagi kampanye,” ujar Emrus melalui keterangan tertulis, Kamis (25/1/2024).
Menurut Emrus, secara ideologis seorang Presiden seharusnya tidak memihak pada salah satu kandidat.
Presiden adalah pemimpin bagi setiap warga negara Indonesia, dan sejauh ini, pemimpin sebelumnya seperti Megawati, SBY, Habibie, dan Gus Dur tetap netral dalam kontestasi politik.
Emrus berpendapat bahwa pernyataan Presiden tersebut tidak produktif untuk negara demokrasi. Sebagai Kepala Negara, Jokowi seharusnya tetap netral dalam kontestasi pemilu.
Emrus juga memberikan dua saran jika Jokowi ingin tetap terlibat dalam kampanye.
Pertama, Jokowi bisa mengambil cuti presiden agar dapat berkampanye tanpa menggunakan fasilitas negara.
Kedua, Emrus menyarankan agar Jokowi mempertimbangkan untuk menarik kembali pernyataannya, mengingat pentingnya netralitas Presiden dalam membangun demokrasi di Indonesia.
Presiden Harus Bersikap Netral Saat Pilpres
Presiden harus tetap netral selama Pilpres untuk menjaga proses pemilihan berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil, sesuai dengan perannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara berdasarkan mandat konstitusi.
Tentunya, terdapat aturan hukum yang mengatur hal tersebut.
Pasal 23 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa hak memilih presiden dan wakil presiden dimiliki oleh seluruh warga negara, termasuk presiden.
Pasal 43 ayat (1) UU HAM menjamin bahwa setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.
Dikutip dari Hukum Online, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan ketentuan yang menekankan perlunya netralitas presiden.
Di dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b UU Pemilu mewajibkan KPU melaporkan seluruh tahapan pemilu dan tugas-tugasnya kepada DPR dan presiden.
Selanjutnya, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu mengatur peran presiden dalam membentuk tim seleksi untuk menetapkan calon anggota KPU yang diajukan kepada DPR.
Oleh karena itu, presiden diharapkan tetap netral selama proses pemilu.
Adapun penggunaan wewenang presiden dalam pemilihan umum bisa dianggap sebagai pencampuran wewenang, yang bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tindakan ini dapat mencakup langkah-langkah di luar ruang lingkup wewenang atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan oleh wewenang tersebut.
Jika tindakan presiden melampaui wewenang, itu dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan melalui proses pengujian di pengadilan.
'Tidak sah' merujuk pada keputusan atau tindakan yang diambil oleh lembaga atau pejabat pemerintahan tanpa kewenangan, dan konsekuensi hukumnya dianggap tidak pernah ada.
Tindakan mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan melalui pengujian oleh pejabat yang lebih tinggi atau proses peradilan setelah mendapatkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam konteks ini, 'dibatalkan' berarti pembatalan keputusan atau tindakan setelah melewati proses pengujian yang sah.
Editor: Wenti Ayu