PARBOABOA, Jakarta – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan memberikan perlakuan khusus untuk pengembangan hunian vertikal yang berada di area transit transportasi massal.
Apabila hunian vertikal berada dekat dengan titik transit, maka bangunannya boleh dibuat lebih tinggi dibanding bangunan lainnya. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari arah pengembangan Jakarta berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) terbaru.
Hal itu diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat sosialisasi Peraturan Gubernur (Pergub) No. 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan DKI Jakarta, Rabu (21/09/2022).
Anies menjelaskan, di Perda RDTR 2014, pembangunan hunian vertikal dibatasi serta belum berpola. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang diberikan rendah, bahkan untuk hunian vertikal yang berada di sekitar titik transit.
"Kemarin pembangunan hunian vertikal masih dibatasi dan belum berpola, sekarang insentif pembangunan vertikal di area yang terlayani angkutan umum massal," kata Anies di Ruang Pola Balai Kota DKI Jakarta, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2022).
Sedangkan dalam Pergub tata RDTR terbaru, Pemprov DKI mengizinkan KLB 11 untuk hunian vertikal kurang dari 800 meter dari titik transit. Kemudian KLB 7 diberikan untuk hunian vertikal berjarak 800-1.200 meter.
"Sekarang kalau di samping terminal, di dekat stasiun, maka dalam radius 800 meter, KLB bisa 11. Dan 800-1.200 (meter) diberikan KLB 7," jelasnya.
"Makin dekat stasiun makin boleh tinggi gedungnya, makin dekat terminal bus makin boleh tinggi. Jadi nanti orang tinggal di sekitar tempat stasiun, terminal bus. Karena yang bisa tinggi adalah kawasan yang dekat dengan transportasi umum," tambahnya.
Anies pun mencontohkan rata-rata KLB untuk zona hunian hanya 1,2. Dalam RDTR terbaru, rata-rata KLB zona hunian menjadi 3,6.
"Zona hunian yang semula hanya 1,2 sekarang jadi 3,6 KLB-nya. Jadi, contoh misalnya di kawasan TOD (transit oriented development) Fatmawati, saat ini dengan aturan sekarang, itu KLB cuma 1,2. Sekarang kawasan TOD itu memiliki rerata KLB 7," ujarnya.
"Ketika dibolehkan jadi tinggi maka unitnya jadi murah jadi tidak perlu lagi jalan 1-2 jam dari luar kota. Lalu tidak perlu lagi beli kendaraan pribadi. Kenapa? Karena dia tinggal di tempat yang bisa dijangkau kendaraan umum. Sekarang TransJ sudah beroperasi 24 jam. Bayangkan, ke depan kendaraan 24 jam di kota ini dan anda tinggal di kawasan TOD ke mana saja bisa kapan saja pakai kendaraan umum. That's the future Jakarta," tambahnya.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Hermawanto menjelaskan, angka KLB 7 dan 11 merupakan rata-rata keseluruhan tanah di Jakarta.
"Awalnya dari perhitungan tadi. Kita kan merata-rata keseluruhan. Dari keseluruhan tanah di Jakarta. Kalau di pusat TOD harga tanah sudah mahal sekian misal per meternya taruh 30-40 juta, kalau itu dipasang dengan KLB 6 harga jual per unitnya akan mahal sekali," jelasnya.
Adapun rincian pemberian KLB, Koefisian Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Dasar Hijau (KDH), dan Koefisien Tapak Basement (KTB) pada hunian vertikal di Jakarta berdasarkan jarak dari area transit angkutan umum massal, yakni:
- Pada radius sampai dengan 800 meter dari titik transit diberikan KDB 55%, KLB 11, KDH 20, KTB 60%.
- Pada radius lebih dari 800 meter sampai dengan 1.200 meter dari titik transit diberikan KDB 55%, KLB 7, KDH 20, KTB 60%.
- Di luar radius 1.200 meter dari titik transit untuk rumah susun umum sewa, rumah susun khusus, dan rumah susun negara diberikan KDB 55%, KLB 6, KDH 20, KTB 60%.
- Di luar radius 1.200 meter dari titik transit untuk rumah susun komersial dan rumah susun umum milik diberikan KDB 55%, KLB 4,5, KDH 20, KTB 60%.