PARBOABOA, Jakarta - Selasa, 3 September 2024, dua pedagang buah berinisial AR dan AM menjadi korban tindakan pemalakan yang dilakukan oleh dua pria, Sariffudin alias Cepal (30 tahun) dan Ade Muhamad Wahyudi (36 tahun).
Kejadian yang viral di media sosial ini, bermula ketika Sariffudin dan Ade mendatangi toko buah AR dan AM dan meminta sejumlah uang, sebesar Rp 35 ribu, sebagai bentuk “uang keamanan”.
Salah satu dari mereka bahkan mengenakan seragam organisasi massa (ormas) Pemuda Pancasila, yang seringkali digunakan sebagai tameng untuk melakukan pungutan semacam ini.
Namun, AR dan AM hanya memberikan uang sebesar Rp 10 ribu, jauh di bawah permintaan mereka. Situasi pun memanas, dan Sariffudin serta Ade, yang dalam keadaan mabuk, terlibat adu mulut dengan AR dan AM.
Beruntung, para pedagang di sekitar tempat kejadian segera turun tangan dan melerai keributan tersebut.
Kedua pelaku akhirnya pergi, namun ketegangan tidak berhenti di situ.
Hanya berselang sekitar 30 menit setelah kejadian pertama, Sariffudin dan Ade kembali ke toko buah tersebut, kali ini dengan membawa delapan rekannya.
Bukannya meredakan ketegangan, kedatangan mereka justru disertai dengan aksi kekerasan.
Kelompok ini mulai merusak toko buah dengan cara melempar batu konblok ke arah kaca toko dan menghancurkan beberapa fasilitas di dalamnya.
Syahduddi, seorang saksi mata sekaligus aparat setempat, menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan aksi balas dendam akibat permintaan pungutan yang tidak dipenuhi.
Pungutan liar (pungli) bukanlah fenomena baru di Indonesia. Kasus ini hanyalah salah satu dari banyak kejadian serupa yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Pemalakan dan pungutan liar menjadi fenomena yang meresahkan, terutama di kalangan pedagang kecil yang sering kali menjadi korban.
Pungutan liar di Indonesia adalah praktik yang jelas melanggar hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap telah mengatur tentang sanksi bagi mereka yang melakukan pungutan liar atau pemalakan.
Dalam pasal 368 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dijelaskan bahwa siapa saja yang dengan sengaja memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu dengan ancaman atau kekerasan, dapat dikenakan pidana dengan ancaman hukuman penjara.
Pelaku tindak pidana semacam ini bisa diancam pidana penjara hingga 9 tahun, tergantung pada dampak dan kerugian yang ditimbulkan.
Selain itu, praktik pungli juga melanggar Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Instruksi ini menegaskan bahwa pungutan liar dalam bentuk apapun, baik di institusi publik maupun sektor swasta, harus diberantas.
Namun, meskipun sudah ada regulasi yang tegas, praktik pungli tetap marak terjadi.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya penegakan hukum serta adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu yang menggunakan posisi dan pengaruhnya untuk melakukan tindakan ilegal tersebut.
Kasus pemalakan yang dilakukan oleh Sariffudin dan Ade tidak hanya soal pungli, tetapi juga soal bagaimana ormas seringkali disalahgunakan untuk menekan masyarakat, terutama pedagang kecil.
Organisasi Pemuda Pancasila, yang digunakan oleh salah satu pelaku, seharusnya berfungsi sebagai wadah untuk melindungi dan mendukung masyarakat.
Namun, dalam beberapa kasus, seragam dan identitas ormas tersebut justru digunakan untuk melakukan tindakan intimidasi dan pemerasan.
Keterlibatan ormas dalam tindakan semacam ini sering kali mempersulit proses penegakan hukum.
Aparat penegak hukum kadang enggan bertindak tegas karena khawatir menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok tersebut.
Padahal, tindakan yang dilakukan jelas melanggar hukum dan mencederai rasa keadilan di masyarakat.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), terdapat peningkatan kasus-kasus kekerasan dan intimidasi yang melibatkan ormas dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindakan-tindakan semacam ini masih perlu ditingkatkan.
Pedagang kecil seperti AR dan AM sering kali menjadi sasaran empuk bagi para pelaku pungli.
Dengan pendapatan yang terbatas, beban tambahan berupa “uang keamanan” yang diminta oleh preman atau oknum tertentu jelas memberatkan mereka.
Dampaknya tidak hanya terasa pada sisi finansial, tetapi juga psikologis, karena mereka harus selalu hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian.
Fenomena ini juga berdampak buruk pada iklim usaha di Indonesia, terutama di sektor informal.
Pedagang kecil yang menjadi korban pungli sering kali enggan melapor karena khawatir akan adanya ancaman atau tindak balasan dari pelaku. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk memberantas pungutan liar.
Melalui Satgas Saber Pungli, pemerintah berupaya menangkap dan menghukum pelaku-pelaku pungli, baik yang berasal dari institusi publik maupun kelompok-kelompok swasta.
Hingga pertengahan 2024, Satgas ini telah menerima lebih dari 1.500 laporan terkait praktik pungli di seluruh Indonesia.
Namun, kerja Satgas saja tidak cukup. Penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Aparat kepolisian, yang menjadi garda terdepan dalam memberantas pungli, perlu bertindak lebih tegas dan tidak terpengaruh oleh tekanan dari kelompok-kelompok tertentu.
Selain itu, masyarakat juga harus berani melaporkan kasus-kasus pungli yang mereka alami.
Editor: Norben Syukur