PARBOABOA, Jakarta - Pemberantasan korupsi di Indonesia kian memprihatinkan. Banyak koruptor divonis ringan.
Menurut laporan Transparency International, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 di 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan angka ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia di mata dunia.
Di 2022, IPK Indonesia menempati peringkat ke-110. Padahal, tahun sebelumnya IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.
Transparency International menyebut, menurunnya IPK Indonesia mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politisi di tanah air memburuk sepanjang tahun lalu.
Tak hanya soal IPK, tren penegakan hukum terhadap koruptor juga melemah.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dalam kurun waktu 2013-2022 terdapat tren hakim memvonis ringan terdakwa korupsi.
Peneliti ICW, Lalola Easter Kaban menyebut, terdakwa korupsi 10 tahun terakhir cenderung dihukum ringan dengan lama pidana 1 hingga 4 tahun penjara.
“Mayoritas putusan itu masih dalam kategori ringan. Misalnya, tahun 2022, jumlah terdakwa korupsi 2.249 dan 1.515 terdakwa itu putusannya dalam kategori ringan, mungkin itu persentasenya 80 persen,” ujar Lalola dalam acara diskusi pemberantasan korupsi di Jakarta, Kamis (27/7/2023).
Rincian putusan tahun 2022, putusan sedang (4-10 tahun penjara) 540 terdakwa dan putusan berat (di atas 10 tahun penjara) hanya 55 terdakwa.
Di 2022, Mahkamah Agung (MA) bahkan lebih banyak mengeluarkan putusan bebas sebanyak 134 terdakwa dibandingkan putusan berat.
Padahal, kata Lalola, MA di 2018 lebih banyak mengeluarkan putusan berat daripada bebas terhadap terdakwa korupsi.
“Memang penegakan hukum dari sisi vonis itu realisasinya masih jauh ya kalo kita bicara koruptor harus dihukum berat, tapi faktanya enggak gitu,” terang Lalola.
Analisis tren putusan ini menurutnya, bersumber dari data pemberitaan media massa, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) di Pengadilan Negeri dan Direktori Putusan Mahkamah Agung.
Meski begitu, Lalola mengakui bahwa analisis tersebut terbatas karena minimnya sumber data putusan tersebut.
“Ini ada tiga sumber data kalo merujuk 10 tahun kebelakang. Karena, dulu direktori putusan MA belum eksis atau ada, sehingga sumbernya diambil dari pemberitaan media, kemudian direktori sempat terjadi perubahan besar-besaran sehingga diubah sumber datanya dari SIPP Pengadilan Negeri,” ujarnya.
“Sumber data turut mempengaruhi jumlah putusan dan terdakwa tipikor yang terpantau setiap tahunnya,” sambung dia.
Selain itu, kondisi pemberantasan korupsi diperparah dengan melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota tim reformasi hukum Kemenko Polhukam, Dadang Trisasongko menyoroti pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK tahun 2019 lalu.
Menurut dia, lembaga antirasuah itu tak lagi independen dengan adanya revisi UU tersebut.
“Dengan adanya revisi UU KPK, lembaga itu menjadi tidak lagi independen. Dia jadi bagian tak terpisahkan dengan eksekutif sekarang,” tegas Dadang.
Dia menegaskan, seharusnya UU KPK kembali seperti semula, sehingga pemberantasan korupsi lebih progresif dan lembaga antirasuah itu independen.
Bahkan, lanjut Dadang, UU KPK kalau bisa lebih diperkuat dari sebelum direvisi pada tahun 2019 lalu. Misalnya, pimpinan KPK diberikan hak impunitas terbatas selama menjabat.
Sehingga, katanya, pimpinan KPK tak bisa dikriminalisasi seperti kasus Abraham Samad dan Bambang Widjajanto dulu.
“Selama dia menjabat tidak boleh ada penyidikan yang menyasar mereka untuk bersifat peristiwa yang terjadi sebelumnya. Nanti kalau udah selesai menjabat baru
diusut. Tapi, kalo terkait kejahatan atas jabatan dia, baru bisa diusut,” ujar Dadang.
Diketahui revisi UU KPK menempatkan posisi lembaga anti korupsi itu di bawah presiden dan diawasi oleh Dewan Pengawas (Dewas). Pegawai KPK juga masuk dalam kategori aparatur sipil negara (ASN).
Aturan itu dinilai membatasi langkah KPK untuk membasmi koruptor di Indonesia.