PARBOABOA – Selama pembuangannya di Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer tidak larut dalam kesedihan. Sebaliknya, ia memilih untuk menulis.
Salah satu hasil karyanya adalah novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang menggambarkan pengalaman pribadinya sebagai tahanan politik (tapol) di Pulau Buru.
Buku ini merupakan karya penting Pramoedya yang mencerminkan pengalaman pribadi serta refleksi tentang kondisi politik Indonesia selama Orde Baru.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterbitkan dalam dua volume pada tahun 1995 dan 1997, dengan judul asli Belanda Lied van een Stomme, yang diterjemahkan oleh A. Van der Helm dan Angela Rookmaker.
Buku ini menggambarkan penderitaan dan kekejaman yang dialami Pramoedya selama penahanan tanpa proses pengadilan yang jelas, serta sikap represif rezim Orde Baru terhadap mereka yang dianggap musuh negara.
Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkemuka Indonesia, ditahan di Pulau Buru tanpa proses pengadilan selama 14 tahun (1965-1979) setelah peristiwa G30S.
Ia dan ribuan tahanan politik lainnya dituduh terlibat dalam gerakan tersebut tanpa bukti yang jelas.
Selama masa penahanan, pria yang akrab disapa Pram itu mengalami berbagai bentuk penyiksaan dan pengasingan. Pengalaman pahit ini menjadi bahan utama dalam karyanya.
Sebagai seorang sastrawan yang berani menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan, Pram menghadapi situasi yang sangat sulit.
Di tengah penderitaan dan ketidakpastian, ia tetap menulis. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu mencakup surat-surat kepada anak-anaknya yang mengungkapkan keterasingan dan penderitaan di penjara, serta esai-esai reflektif yang mengeksplorasi kondisi sosial dan politik Indonesia pada masa itu.
Buku ini tidak hanya menggambarkan usaha Pram untuk bertahan dengan menulis meskipun dilarang mempublikasikan karyanya, tetapi juga mengeksplorasi tema-tema seperti kebebasan berekspresi, keadilan, dan kemanusiaan.
Pram menekankan pentingnya suara individu dalam melawan kekuasaan yang menindas dan bagaimana diam bukanlah pilihan, meskipun dalam situasi yang sangat sulit.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah bukti nyata dari cobaan hidupnya, ditulis dengan perasaan dan kejujuran.
Pulau Buru, tempat di mana para tahanan politik seperti Pram dikirim tanpa proses hukum yang jelas, dikenal sebagai kamp kerja paksa yang keras dan penuh kesengsaraan fisik serta mental.
Di sana ia menceritakan secara detail bagaimana bentuk penderitaan tersebut, mulai dari kelaparan, kerja paksa yang melelahkan, hingga tekanan mental yang menghantui setiap hari.
Menulis adalah satu-satunya cara bagi Pram untuk melawan kehancuran mental yang dialaminya.
Di tengah keterbatasan yang ada, ia terus menuangkan segala perasaannya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang lebih dari sekadar catatan harian atau memoar.
Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna kemanusiaan dan dampak ketidakadilan terhadap kehidupan seseorang.
Pramoedya Ananta Toer berbicara tentang perlawanan terhadap ketidakadilan melalui tulisannya.
Meskipun dalam situasi tertekan, Pram memilih melawan dengan kata-kata, bukan senjata atau kekerasan. Melalui karya ini, ia berharap bisa menginspirasi orang lain untuk tidak menyerah dan terus berjuang demi keadilan.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu memperlihatkan kondisi nyata di Pulau Buru dan bagaimana para tahanan berjuang untuk tetap hidup dan mempertahankan martabat mereka.
Buku ini juga mengajarkan pentingnya menjaga kemanusiaan dalam situasi apapun. Meskipun dilarang beredar di Indonesia karena dianggap berbahaya oleh pemerintah, buku ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan dipelajari di berbagai universitas di seluruh dunia.
Melalui buku ini, Pramoedya Ananta Toer tidak hanya mendokumentasikan kesulitan pribadinya tetapi juga menyuarakan penderitaan mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk berbicara.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu tetap menjadi bukti kuat tentang dampak penindasan politik dan pentingnya perlawanan intelektual.
Penulis: Luna
Editor: Wanovy