PARBOABOA - Pakaian impor bekas telah menjadi sumber pendapatan sejumlah masyarakat Indonesia. Di Kota Medan saja misalnya, sedikitnya ada sekitar 1.000 pedagang pakaian bekas, atau lebih dikenal dengan monza. Omzet rata-rata mereka bervariasi, mulai dari Rp13 juta – Rp20 juta per bulan.
Namun, nilai ekonomi pakaian bekas yang begitu menggiurkan, pro kontra terhadap pakaian bekas impor terus terjadi. Para Maret lalu pemerintah telah melarang impor pakaian bekas ini, dan adanya anggapan dari masyarakat bahwa monza atau di kota-kota besar disebut thrifting, merupakan sampah.
Pedagang yang menganggapnya sebagai sumber mata pencaharian menolak itu. Seorang pedangan thrifting di Jakarta Selatan, NN, 55, menepis anggapan itu. Dia mengatakan bahwa masyarakat lebih menyukai thrifting ini karena melihat kualitasnya.
“Mungkin juga karena dari segi kualitas lebih baik,” kata NN kepada Parboaboa saat ditemui di tempat usahanya, Selasa (23/5/2023).
Bahkan, kata NN, dengan berjualan thrifting ia bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat, terutama anak-anak muda untuk bisa bekerja di tempatnya. Hingga kini, NN sudah memiliki tujuh orang karyawan.
“Thrifting ini juga sudah banyak memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di saat kondisi ekonomi di negeri cukup sulit, terlebih saat Covid-19 melanda Indonesia di mana mall-mall tutup,” ujarnya.
Dengan demikian, NN juga menyangkal terkait pendapat yang mengatakan thrifting adalah sampah. Menurutnya, baju-baju bekas yang biasa ia jual adalah barang-barang yang masih bagus dan layak pakai.
"Jika thrifting ini dianggap sampah itu tidak benar dan kurang tepat, jika dilihat boleh enggak ini dibilang sampah? Sementara baju-baju ini masih layak untuk digunakan,” tegasnya.
Dilarang Tapi Disukai
Bukan rahasia lagi bahwa thrifting atau monza merupakan pakaian yang dilarang beredar secara ilegal, namun tak pula dipungkiri, bahwa banyak masyarakat Indonesia menyukainya. Buktinya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pakaian bekas dan tekstil bekas ke negara ini mencapai sebanyak 26,22 ton, dengan nilai total impor sebesar USD 272.146 atau sekitar Rp 4,18 miliar.
Sepanjang tahun itu pakaian bekas banyak diimpor dari negara Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Tiongkok, Prancis, Thailand, Belanda, dan Inggris.
Salah satu pengguna pakaian thrifting Aris Zulhilmi, 33, pria asal Jakarta Timur mengaku bahwa dirinya kerapkali membeli dan memakai pakaian thrifting. “Hampir setiap kalau mau beli baju pasti thrifting sih karena kebetulan dekat rumah itu ada yang tempat jualan thrifting," kata Aris, Selasa (23/5/2023).
Dia suka membeli baju thrifting karena harganya yang murah untuk ukuran barang-barang dengan merek terkenal seperti Uniclo, H&M dan lainnya. “Soalnya saya pernah coba cek yang di Uniclo celana harganya cukup mahal sekitar Rp500, ketika di tempat trifting barangnya sama tapi harganya cukup jauh," ujarnya.
Aris juga mengaku tak pernah malu untuk menggunakan baju-baju thrifting, baginya selagi baju yang dikenakan membuatnya nyaman Aris tak pernah mempermasalahkannya.
“Dan selama ini pun saya juga enggak pernah ada keluhan apa-apa karena biasanya setelah saya beli baju thrifting, saya rendam menggunakan air panas agar kuman-kuman yang ada di baju bisa hilang,” katanya.
Aris tidak setuju apabila thrifting dianggap sampah karena barang-barang yang dijual masih bagus dan layak untuk digunakan. “Kalau menurut saya pribadi thrifting itu bukan sampah cuman dia itu barang-barang branded luar yang mungkin rijeck di sana dan diolah lalu dijual lagi di sini,” terangnya.
Tetapi tidak semua orang suka thrifting.
Leni Wandira, 24, seorang karyawan swasta di wilayah Jakarta Pusat ialah salah satunya. Dia mengaku tidak pernah membeli dan menggunakan baju thrifting. Untuk kebutuhan sehari-hari, Leni lebih menyukai dan membeli baju-baju baru.
“Saya kurang tertarik buat beli baju bekas, karena kita kan engga tahu itu sebelumnya siapa pemiliknya, punya penyakit kulit atau apapun itu lebih enggak steril aja sih kebersihannya,” tegas Leni
Perlindungan Regulasi Lemah
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin, menilai pakaian bekas tidak boleh diimpor begitu mudah dan dijual. Tetapi barang bakas itu bisa masuk karena perlindungan regulasinya yang masih lemah.
“Saya kira itu yang diperhitungkan para pebisnis di internasional karena standar lingkungan kita ini lemah sekali, sehingga menjadi tujuan atau target pembuangan limbah,” tegas Parid kepada Parboboa, pekan lalu.
Dia juga mencontohkan kejadian beberapa tahun yang lalu di mana sekelompok orang pernah memprotes soal impor sampah plastik dari luar negeri. Di antaranya dari negara Australia, Amerika dan beberapa negara di Eropa.
“Dan impor sampah plastik itu untuk pembangunan PLTSA (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Nah, hal itu jadi menunjukkan bahwa negara kita standar lingkungannya rendah sekali," ungkapnya.
Parid menyampaikan bahwa pemerintah perlu lebih jauh menegakkan hukum terutama hukum yang sudah ada, dan bagaimana aturan tersebut bisa berjalan sebagaimana mestinya.
“Misalnya, dibuat semacam satuan tugas (satgas) atau ada tim untuk mengkaji di mana sih titik-titik orang thrifting itu, lalu berapa banyak dalam setahun atau dalam waktu enam bulan thrifting itu datang ke Indonesia dan dari mana saja,” katanya.
Pedagang seperti NN beranggapan bahwa tidak semua thrifting berakhir menjadi sampah setelah sampai di negara ini. Sebagian besar pakaian besar yang dijual sudah melewati berbagai tahap, mulai dari pemilihan atau sortir, dan pencucian.
“Jadi setelah baju-baju impor ini datang tentu kami lakukan pertama adalah menyortirnya kemudian kami laundry, barulah kami pajang untuk jual. Dan orang yang belanja juga pasti mereka laundry lagi,” ungkapnya.
Terlebih dari itu, thrifting disukai dan menjadi pemutar roda ekonomi rumah tangganya.
Dia tak tahu akan berjualan apa bila pemerintah benar-benar memberlakukan larangan impor pakaian bekas. “Jujur kita masih bingung harus beralih kemana lagi, karena usaha yang kemarin kita lakukan semuanya pun bangkrut, engga hidup dan bergairah,”katanya.
*Laporan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus edisi ‘larangan impor pakaian bekas’
Reporter: Halimah
Editor: Tonggo Simangunsong