PARBOABOA, Jakarta – Lagu pop lawas ‘Demi Kau dan Si Buah Hati’ karya Pance Pondaag menyambut kedatangan reporter PARBOABOA di Lapo (kedai dalam bahasa Indonesia) Sabasdo, Jalan Mayor Jenderal (Mayjen) Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur.
PARBOABOA kala itu disambut pria paruh baya berkepala plontos yang duduk di kursi plastik sambil mengangguk seolah mengikuti alunan lagu.
“Mau pesan apa?” tanya pria itu dengan senyum semringah.
PARBOABOA pun terdiam sembari melirik daftar menu yang terpampang di tembok.
Lapo itu menyediakan makanan dan minuman khas Batak, mulai dari Mie Gomak, bandrek, kopi susu Medan, teh susu Medan serta aneka olahan ayam dan ikan.
Lapo Sabasdo juga menawarkan aneka olahan daging babi dan anjing, seperti dipanggang, saksang, masak kecap, arsik dan balado.
“Saya pesan kopi susu Medan satu,” jawab PARBOABOA.
Menjawab pesanan PARBOABOA, pria paruh baya tadi lantas memanggil seorang perempuan dan memintanya untuk membuatkan pesanan saya.
Pria plontos itu ternyata pemilik Lapo Sabasdo, namanya Parudian Sitompul.
Ia berasal dari Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Sitompul merantau ke Jakarta pada 2009.
Sejak menginjakkan kaki di Jakarta, Sitompul membuka Lapo Sabasdo di dekat Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur. Namun setelah 2010, ia membuka lapo di Jalan Mayor Jenderal Sutoyo, Cililitan.
Sebelum di Jakarta, Sitompul kepada PARBOABOA mengaku juga membuka lapo di kampungnya, sekitar tahun 1980-an.
“Dari awal menikah kami buka lapo sejak tahun 1980, ya turun-temurun buka lapo,” ujarnya, Rabu (11/10/2023).
Sitompul mengeklaim laponya paling ramai dikunjungi orang sejak di Medan. Lapo Sabasdo buka mulai jam 9 pagi hingga 10 malam. Bahkan kalau ramai, ia buka hingga dini hari.
Lapo Sitompul banyak dikunjungi orang Batak dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Kebanyakan dari mereka, kata Sitompul, mencari makanan olahan daging babi dan anjing.
“Makanan paling laku ya daging babi. Ada babi panggang, saksang, babi kecap, babi arsik, babi balado,” jelasnya.
Sabasdo bukanlah satu-satunya lapo di daerah Cililitan. Jejeran lapo lain juga terlihat mengular di sepanjang Jalan Mayor Jenderal Sutoyo, Jakarta Timur.
Bahkan, kawasan Cililitan menjadi terkenal karena banyaknya lapo yang ada di sana. Jumlahnya tak terhitung. Mereka menjual makanan khas Batak, seperti mie Siantar dan olahan daging babi dan anjing. Juga tuak dan alkohol.
Lapo-lapo itu ada sejak tahun 1980, mulanya orang Batak Toba berjualan. Lama-lama orang Batak Karo juga ikut berjualan.
Salah seorang pengunjung lapo Riko, yang ditemui PARBOABOA sedang ngopi dan merokok sembari menikmati tembang lawas.
Pria asal Medan itu tinggal di perkampungan tak jauh dari lapo Sabasdo.
“Dari dulu banyak lapo di sini,” kata Riko.
Ia mengaku sering ke lapo untuk sekadar ngopi dan nongkrong bersama kawannya. Riko mengatakan, suasana lapo semakin ramai saat sore hingga malam hari.
"Lapo menjadi tempat bercengkrama orang Batak setelah seharian bekerja," ungkap Riko.
Hal senada diungkapkan tokoh masyarakat setempat, Timbul Siahaan.
Menurutnya, lapo merupakan warung atau kedai yang biasa menjadi tempat kongkow orang Batak.
“Di kampung (Sumatra Utara) pun ada juga lapo. Bapak-bapak itu kan kalau sudah sore dan malam biasanya minum tuak. Biasanya di lapo membicarakan apa saja, sejarah-sejarahlah, nyanyi-nyanyi juga anak muda. Ada pula yang main catur,” kata Timbul kepada PARBOABOA.
Kampung Batak Mayasari
Keberadaan lapo-lapo itu tidak terlepas dari kampung Mayasari yang ada di belakang Jalan Mayjen Sutoyo.
Perkampungan itu dihuni sekitar 400 kepala keluarga (KK) Batak berasal dari Karo, Simalungun, Toba dan daerah lain di Sumatra Utara.
Nama kampung ini diambil dari bekas terminal bus Mayasari Bhakti, di seberang perkampungan dan dekat dengan gedung Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Siang itu, PARBOABOA menyusuri perkampungan Batak tersebut. Petualangan menyusuri kampung disambut dengan sebuah gereja di mulut gang. Namanya, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Cililitan.
Menurut Timbul Siahaan, perkampungan Batak identik dengan gereja. Di kampung Mayasari itu terdapat sekitar 12 gereja.
Ia menjelaskan, masing-masing orang Batak mendirikan gereja sesuai daerah asalnya. Ada Gereja HKBP, Gereja Karo, Gereja Simalungun, hingga Gereja Pentakosta Indonesia (GPI).
“Kemanapun kita itu gereja udah lengket lah dalam hati. Walaupun cuma sendiri pasti itu mendirikan gereja,” ujar Timbul.
Kampung Mayasari ada sejak tahun 1970. Mulanya adalah tanah kosong yang penuh dengan ilalang.
Timbul mengaku ia merupakan generasi pertama yang menghuni kampung Mayasari. Dulu ia bekerja sebagai kenek hingga sopir bus dalam kota di terminal Cililitan.
“Saya mulai tahun 1968 udah di sini. Ini belum perkampungan. Baru digarap tahun 1970 jadi perkampungan. Dulu ini tanah kosong, ilalang,” ungkap pria berusia 77 tahun itu.
Dulunya, kata Timbul, Kampung Mayasari tak hanya ditempati orang Batak. Banyak juga orang Jawa dan Flores.
Namun, lambat laun orang-orang itu pindah dan menjual rumahnya.
“Terus ya dibelilah ama orang Batak. Kalau sekarang udah Batak semua,” ucap Ketua RT 01/RW 08 Kampung Mayasari ini.
Sementara sesepuh Kampung Mayasari, yang akrab disapa dengan Inang Rina juga bercerita dirinya tinggal sejak tahun 1970. Ia termasuk generasi pertama yang menggarap perkampungan Batak tersebut.
“Saya orang pertama di sini, kita dulu masih murah beli tanah,” ujarnya.
Inang Rina merantau dari kampungnya di Pangaribuan, Tapanuli Utara ke Jakarta pada 1969.
Ia sebelumnya menetap di Rawamangun, Jakarta Timur sebelum akhirnya ke kampung Mayasari.
Perempuan berumur 79 tahun itu bercerita, ia tahu kampung Mayasari dari sesama orang Batak.
“Ya namanya orang Batak yang merantau kan, ayo ke sana ada lahan bisa digarap,” katanya.
Inang Rina dulu berdagang ikan asin di Pasar Jambul, Cawang, Jakarta Timur, hingga akhirnya pensiun tahun 2010 kala suaminya meninggal dunia.
Diaspora Orang Batak
Antropolog Universitas Sumatra Utara (USU), Irfan Simatupang mengaku, orang Batak banyak yang merantau ke luar daerahnya. Mereka menyebar ke Jabodetabek hingga mendirikan perkampungan.
Pemukiman orang Batak di Jakarta tersebar di beberapa daerah seperti Pulomas di Pulo Gadung, Peninggaran di Kebayoran Lama, Jalan Pramuka di Utan Kayu, Senen, hingga Bekasi.
“Orang Batak memang cenderung merantau karena secara geografis tanah Batak itu tidak produktif, artinya tanahnya tidak menjanjikan lah,” jelasnya kepada PARBOABOA, Kamis (12/10/2023).
Irfan menjelaskan, orang Batak merantau untuk memperbaiki kehidupan. Mereka berprofesi macam-macam, ada yang menjadi advokat, penyanyi, hingga tukang tambal ban.
Orang Batak, lanjut dia, cenderung tidak pilih-pilih dalam bekerja, yang terpenting dapat menghidupinya.
“Prinsip orang Batak itu ada namanya, hamoraon (kekayaan), hagabeon (kekayaan juga hampir sama), hasangapon (kehormatan) dan harajaon (kekuasaan). Itu filosofis orang Batak,” ujarnya.
Mulanya, orang Batak di perantauan cenderung beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Lambat laun, menurut Irfan, mereka akan mendominasi lingkungan perantauannya.
“Lama-lama mereka memperkuat identitasnya itu. Jadi cenderung berkelompok dengan filosofis Dalihan Na Tolu, sebuah prinsip hidup bermasyarakat orang Batak,” ungkapnya.
Menurut dia, orang Batak mengedepankan kekerabatan di manapun berada meski di perantauan.
Kekerabatan itu bukan hanya hubungan pertalian sedarah lewat marga atau perkawinan, tapi juga hubungan kuat satu daerah.
Saat orang Batak mendominasi daerah perantauan mereka akan berdiaspora. Kata Irfan, kemana pun orang Batak pergi turut membawa serta budayanya.
“Mereka akan berdiaspora di perantauan,” jelas Irfan.
Budaya itu tercermin pada gereja-gereja yang dibuatnya di perantauan, meskipun tidak semua orang Batak beragama Kristen.
Begitu juga dengan lapo-lapo. Orang Batak mesti membawa turut serta lapo sebagai tanda kebudayaannya.
“Lapo itu menjadi ciri khas masyarakat Batak. Di manapun mereka pasti buka Lapo tuak. Jadi memang 99 persen laki-laki Batak itu orang Lapo dan minum tuak,” kata Irfan.
Menurutnya, tanah Batak mempunyai iklim dingin sehingga kala malam lelaki Batak banyak pergi ke Lapo untuk meminum tuak sekedar menghangatkan badan. Kebiasaan itu pun terbawa hingga ke perantauan.
Lapo-lapo itu, kata Irfan, menjadi tempat lelaki Batak menghabiskan malam setelah seharian bekerja. Mereka akan saling bercerita dan bernyanyi hingga larut malam.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, orang Batak dalam merantau secara tidak langsung akan membawa misi budaya.
Menurut Irfan, orang Batak bila merantau akan menjadikan tempat perantauannya itu sama seperti kampung halaman mereka.
“Jadi di manapun dia merantau, dia akan jadikan itu daerah kekuasaannya secara filosofis. Makanya saya bilang mereka cenderung berdiaspora, membawa budayanya, dan di perantauan dia hidupkan budayanya,” jelasnya.
Buku The Ethnic Profile of Djakarta karya Lance Castle menyebut, orang Batak pertama kali datang ke Jakarta pada tahun 1907.
Di tahun 1930, jumlah orang Batak di Jakarta berjumlah sekitar 1.300 orang. Angkanya terus bertambah menjadi 22.000 orang di tahun 1963.
Pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah orang Batak di Jakarta mencapai 326.332 orang. Angka itu belum termasuk orang Batak yang berada di Bekasi, Bogor dan Tangerang.
Editor: Kurniati